Dari Ujung Ke Ujung

Mr.Qatam
Chapter #14

Perkumpulan Permusyawaratan Katak-Katak

Sesuai perjanjian, hari itu juga sehabis maghrib kami jalan kaki ke stasiun, bertiga saja. Meskipun si Ca’ang ingatannya cukup lumayan, tetap saja kami dua kali salah gang, sebab yang diingat bukan jalan keluar, melainkan jalan ketika masuk. Dengan canggung dan penuh debat sepanjang jalan, akhirnya sampai juga kami di stasiun Rawa Buaya. Kami menunggu calon pembeli hp si Kojek di luar gerbang stasiun. Cukup lama, orang yang ditunggu-tunggu itu datang juga, sekitar setengah delapan. Seorang perempuan, seorang lagi laki-laki. Yang laki-laki bawa motor, perempuannya bonceng di belakang, keduanya memakai helm.

“Haloo...” ujar yang perempuan, menyalami kami. Senyumnya ramah, tetapi agak canggung dan malu-malu. Sedangkan yang laki-laki juga cukup ramah, tapi jarang senyum. Setelah sedikit basa-basi; “Boleh saya lihat hp nya?” ujar yang perempuan.

“Oh, ya tentu,” kataku. “Hp nya mana?”, tanyaku ke si Kojek.

“Hp nya mana?”, si Kojek malah nanya ke si Ca’ang.

“Lah, kan hp wa’ang? Mana ku tahu?”, kata si Ca’ang.

Ku perhatikan calon pembeli itu agak curiga dari raut mukanya. Terlebih kami berbahasa yang tidak mereka mengerti.

“Ah, gimana sih?”, ujarku, kini berbahasa Indonesia yang bagus. “Mohon maaf, kak, bang. Hp nya nggak kebawa. Soalnya temanku ini yang punya, dia lupa,” kataku.

“Iya, kak. Tadi lagi di cas, jadi nggak ingat bawanya, buru-buru ke sini...” kata si Kojek membenarkan.

“Lha, terus gimana dong..?”, kata perempuan, risih. Dari parasnya kelihatan dia masih seumuran dengan kami.

“Begini saja, kalau kakak mau, gimana kalau kita ke kontrakan aja? Deket kok dari sini, lumayan, tidak jauh kok...” kata si Kojek.

“Tenang, kak. Kita bukan orang jahat. Kita kuliah di sini, kalo ntar ada apa-apa, cari aja kita ke sini lagi... gimana?”, aku mencoba berbohong untuk meyakinkan mereka.

“Iya, lagian kakak kan nggak sendiri, nih, ada abangnya,” si Ca’ang menambahkan.

“Gimana?”, tanya si perempuan meminta pendapat ke lelaki yang ku kira adalah pacarnya.

“Ya, gimana kamu. Kalo mau ya udah kita ikut aja,” ujar pacarnya itu.

“Ya udah deh, kita ke kontrakannya,” kata si perempuan ke kami, setuju.

Akhirnya kami jalan duluan, mereka ikut di belakang dengan masih waspada. Sambil jalan, kami ajak ngobrol. Nanya-nanya dari mana, asalnya mana, terus sesekali diajak bercanda. Dengan cara begitu, mereka akhirnya tidak takut lagi.

Sesampai di kontrakannya Tilam yang kami klaim sebagai kontrakan kami kepada calon pembeli, segera si Kojek memperlihatkan smartphone android nya. Si perempuan memeriksa sebentar. Tidak perlu lama-lama sebab memang itu hp masih mulus dan bagus, perempuan itu langsung mengantongi beserta kotak dan pencasnya. Kami menghitung uangnya. Setelah salam-salaman, mereka pamit dengan senyum lebar. Kami apalagi.

Si Kojek paling besar ketawanya.

“Ini buat pegangan ang, karena sudah membantu menjualkan,” si Kojek memberiku beberapa ratus ribu. “Dan ini buat wa’ang, Ang,” si Ca’ang juga dikasih sama banyak denganku. ”Bilang apa sama Papa? Itu uang jajan buat seminggu,” canda si Kojek.

“Aaaah...” aku menepuk keningnya dengan uang di tanganku. Dia ketawa lagi.

“Tapi jangan senang dulu kalian berdua. Kalau sudah dapat kerja, gajinya patungan buat ganti hp ku!”

“Lah, berarti ini tidak dikasih dong namanya,” ujar si Ca’ang.

“Enak saja...” kata si Kojek.

Kami lalu berangkat ke warung terdekat. Saatnya berbasa-basi menjamu tuan rumah. Kami beli rokok, beberapa makanan ringan, aneka macam kopi instan, dan lain-lain.

Jam sembilan kurang anak-anak itu pada sudah pulang dari kuliah. Si Tilam tercengang-cengang kami banyak belanjaan. Bang Rizki dan Imam memberi tahu, bahwa kami telah melakukan sebuah transaksi tadi di kontrakan. Saatnya berpesta, nih, kata yang lain. Kami langsung masak-masak untuk makan malam.

***

Aku tidak tahu kalau si Tilam diam-diam mengetahui si Sudirman dan si Pikon; yang juga teman SMA ku, akan kesini juga. Itu membuatku kaget besok harinya, saat si Tilam pulang kuliah, sudah bersama Sudirman dan Pikon. Kami segera saja antusias. Mendadak rumah kontrakan si Tilam menjelma menjadi lokasi reuni, jadi begitu ramai.

“Sudah ku bilang, aku akan ke Karawang...” ujar Sudirman kepadaku.

Wa’ang tidak bilang sudah di Karawang. Dan si Pikon ini, kapan pula ang ke Jawa?”, tanyaku.

“Hahaha... sudah dua bulan aku di Kebayoran Lama, ang saja yang tidak tahu, tidak pernah bertanya padaku,” katanya.

Lihat selengkapnya