Aku tidak tahu orang-orang pada tidur jam berapa semalam, sebab aku tidur lebih dulu. Pagi-paginya, aku terbangun lebih dulu juga, semua orang masih pulas dalam tidurnya. Baik di atas maupun di bawah sama saja, semua tidur seperti kapal pecah, tak beraturan, asal tergelayak saja. Hari sudah jam tujuh lewat. Ku bangunkan si Tilam yang tidur di bawah terlebih dahulu. Mungkin dia ada kuliah hari ini, takut-takutnya terlambat.
Si Tilam bangun dengan malas, katanya dia tidak ada kuliah pagi, tetapi nanti jam setengah dua siang. Kemudian dia membangunkan senior dan kawan-kawan yang lain yang ada kuliah pagi ini. Sedangkan aku langsung mandi. Aku ingin menikmati aroma pagi di lingkungan ini, dengan segelas kopi, di balkon di atas. Berdua dengan Tilam.
Satu persatu kawan-kawan mulai pada bangun. Membantu melipat-lipat dan bersih-bersih tempat tidur. Ada yang kemudian langsung mandi, ada yang cuci mulut dan muka saja dulu, kemudian bergabung denganku dan si Tilam. Sedangkan kawan-kawan atau seniornya si Tilam ada yang sudah pada pergi kuliah. Aku, si Tilam, si Kojek, si Ca’ang, Pikon dan Sudirman duduk di balkon atas.
“Apa kegiatan sepagi ini enaknya..?”, tanya si Ca’ang, menarik sebatang rokok dari bungkusnya.
“Ayo, lah...” kata si Kojek. “Katanya mau pergi?”
“Ayo kemana?”, tanya Tilam.
“Kemana aja, selagi uang masih banyak...” kata si Kojek lagi. Tampaknya dia tidak sabar ingin mendapat kerja seperti yang kami diskusikan semalam.
“Ayo, mumpung masih pagi...” kataku pula.
“Kopi masih penuh, malah mau pergi. Ang enak sudah mandi, kami yang belum bagaimana?”, kata si Pikon.
“Ya mandi lah ang dulu?”, kata Kojek.
“Iya, Kon. Daripada jalan siang, panas,” kataku.
“Ah, kalian gimana sih. Kami baru saja mau mencoba menikmati pagi di sini, iya kan, Kon?”, kata Sudirman pula.
“Itu lah, nanti sore masih bisa jalan,” kata Pikon.
“Lagian, kan cuma pergi ke kenalan, tidak ada batasan waktu, kan? Kecuali melamar pabrik, iya lah harus pagi,” kata Tilam.
“Tuh, ang dengar, Lin. Kan aku bilang, nanti sore aja, besok juga masih ada hari,” kata Kojek yang kalah suara.
“Kenapa aku pula yang ang suruh dengar? Kan wa’ang tadi yang duluan mengajak?”, aku mengelak.
“Hahaha...” si Kojek ketawa-ketawa.
“Ya sudah, nanti sore kita jalan?”, aku memastikan.
“Kemana?”, tanya si Sudirman.
“Kemana aja...” kata Kojek berbarengan dengan si Pikon, yang ikut-ikutan pula. Semua orang ketawa ala kadarnya.
“Dir, ang pandai ngecat tembok?”, tanya Tilam pada Sudirman.
“Tembok mana yang mau di cat?”, tanya Sudirman.
“Dinding yang di bawah itu, kan polos saja. Cat banyak di gudang bawah. Mumpung lagi ramai kan di sini?”, kata Tilam.
“Boleh juga tuh, kita coret-coret dindingnya?” tanya Ca’ang.
“Jangan coret-coret lah, bikin mural gitu. Kita lukis dindingnya,” kataku.
“Ya, itu maksudku,” kata Ca’ang.
“Kalau begitu, ayo ke bawah...” kata si Tilam.
Kami membawa gelas-gelas kopi dan kue-kue ringan ke bawah. Si Sudirman membuat beberapa sketsa kertas untuk gambar yang akan dilukiskan ke dinding. Lalu kemudian dipilih oleh si Tilam. Memang si Sudirman ini hobi juga menggambar dari kecil, katanya. Gambarnya pun kulihat bagus-bagus pula. Sejak SMA sudah banyak dinding rumah kawan yang dibuatnya gambar dengan suka-suka. Aku pun memiliki sedikit bakat untuk itu, tapi selama SMP dan SMA, aku lebih memilih mendalami musik. Sehingga orang-orang taunya aku di bidang musik saja, itu pun tak terlalu.
Si Tilam sudah memilih salah satu dari sketsa Sudirman. Sudirman lalu menyalinnya ke dinding ruang tamu di bawah itu. Yang lain memindah-mindahkan sofa dan meja ke tempat yang aman dari kemungkinan cipratan cat. Gambar itu cukup keren, dengan tulisan ‘Himami’ di tengah-tengah, yang kepanjangannya adalah ‘Himpunan Mahasiswa Minang’. Itu bagus. Untuk pengerjaan cat, kami lakukan bersama-sama dengan bergantian. Semua orang bebas melepaskan ekspresinya, aku pun tidak kalah. Setiap warna teraduk-aduk begitu saja, tembok kontrakan Tilam jadi belepotan.
Tidak sampai jam dua belas siang, gambar sudah. Kami tertawa-tawa menyaksikan hasilnya yang sangat berbeda jauh dari sketsa awal. Di satu sisi gambar bersih dan rapi, di sisi lainnya malah tiba-tiba sangar dan ekspresif, sekilas seperti gaya pelukis Affandi. Ada garis yang tampak berusaha dibikin lurus, ada pula yang jauh meleset dari sketsanya, ada warna yang sudah ditentukan sebelumnya, ada pula warna yang terimprovisasi langsung tercipta di dinding. Tapi tak apa. Si Tilam dan si Sudirman lalu memoto. Kami pun ikut berfoto di sana, sebagai nanti buat kenang-kenangan.
Adalah satu yang aku kagumi dari kehidupan pertemanan seperti ini: Setiap kesalahan seorang kawan adalah kelucuan bagi kawan lainnya, tanpa ada ketersinggungan, tanpa ada kecil hati, saling hujat namun tak marah. Ku rasa, dan banyak mungkin orang menyetujuinya, pertemanan karib bagi lelaki adalah ketika kata-kata kasar bukan lagi suatu persoalan yang membuatnya menjadi kasar, tetapi lebih kepada kejujuran yang menjadikannya semakin dekat. Seperti setiap dialog agak kasar yang aku paparkan, itu tak lebih dari bunga rindu akan suatu perkumpulan dengan kawan-kawan dekat.
Selesai mencoret-coret dinding ruang tamu kontrakan si Tilam, kami membagi tugas untuk acara makan siang. Ada yang mencuci piring, ada yang menggoreng telur, sedangkan aku dapat bagian menanak nasi. Persediaan sambal cabe masih banyak. Yang sudah pulang kuliah adalah si Johan dan Bang Ferdi. Mereka takjub dan ketawa-ketawa pula menyaksikan tiba-tiba sudah ada mural di ruang tamu. Kemudian memoto-moto dan dikirim ke grup ‘Himami’ lewat aplikasi chat di hp nya. Katanya banyak yang berkomentar. Dan senang.