Da Gus hanya geleng-geleng kepala atas kelakuanku yang tidak bisa ditebak. Berkali-kali beliau berusaha menahan kami yang mau pamit pagi itu, meski tidak secara langsung. Jelas kekhawatiran terlihat di matanya yang seolah acuh tak acuh. ‘Mau jadi apa ang di luar sana nanti, di daerah yang asing dengan pergaulan macam-macam?’, mungkin begitu dalam hatinya. Atau, ‘lebih baik di sini saja dulu, walau tidak ada duit banyak, setidaknya makan tiga kali ang cukup’. Tetapi aku coba mengemukakan alasan setepat-tepatnya, walaupun tau dia tidak akan percaya begitu saja. Itu tidak masalah, sebab bagaimanapun aku tetap akan pergi. Soal nanti, kan bisa balik lagi.
“Habiskan dulu kopi itu, biar nanti den antarkan ke depan,” ujarnya, seperti biasa; dengan air muka cuek dan sok lengah kepadaku.
“Tak usah lah, Da. Kami kan ramai, biar jalan kaki saja, sambil melihat-lihat”, ujarku.
“Apa yang mau ang lihat? Di sini sempit semua, kiri kanan pagar dan tembok rumah,” kata Da Gus sedikit tertawa.
“Lagi pula, kami sudah biasa berjalan-jalan kaki, Da,” kata si Ca’ang dengan amat jujur.
“Ya sudahlah, tapi tidak lupa kan, ang, jalan ke sini?”, tanya Da Gus. Maksudnya adalah menyuruhku agar main kemari lagi.
“Hehehe, tentu saja, Da. Kalau nanti lupa, kan tinggal telpon dimana nyasarnya?”, ujarku. Da Gus mengangguk-angguk saja, sembari menyeruput teh-nya. Habis itu kami salaman satu persatu. Juga sama Unang istri Da Gus, dan sama anak-anaknya, dan lain-lain.
Kami berenam, pagi itu kembali ke tempat Tilam. Kembali menikmati ragam kesibukan antar stasiun. Menyusuri panjang pinggiran kota yang katanya metropolitan itu. Benar-benar tak ada sawah atau batang air jernih berbatu-batu besar seperti di kampungku di Solok, atau perbukitan rimbun seperti jalan di Lembah Anai dengan jurang-jurangnya nan menawan, atau bukit-bukit barisan di Sawahlunto.
Sepanjang rel yang dilalui kereta hanya perkampungan rapat-rapat dan kumuh yang ku tatap. Aneka macam jemuran kain terhampar di depan deretan gubuk-gubuk tua, lusuh dan hampir rubuh, dengan latar gedung-gedung mewah pencakar langit yang entah dihuni siapa, nun di jauh sana, di tengah kota. Cuek, acuh tak acuh, begitu pola hidup orang-orang di sini yang kebanyakan comer, pendatang.
Jam sepuluh kami tiba, disambut dengan tak lagi asing. Hari itu biasa-biasa saja, cuma ngobrol, main gitar, makan, main hp, ngopi, ke warung, kembali lagi. Hanya si Ca’ang yang tampak sibuk, entah apa yang dikerjakannya bolak-balik ke warnet, yang entah dimana aku tak tahu, berdua ia dengan si Pikon. Sedang si Kojek siang itu turut dengan si Tilam ke kampusnya.
Sepertinya badan-diriku yang menolak diam saja, tergerak ingin berbuat sesuatu. Kukeluarkan sebuah buku catatan bergaya klasik dari tas ku. Isinya masih kosong, pemberian Pak Angah dahulu yang awalnya mau kubeli. Di beranda atas, sambil menikmati angin kasar dan gersang yang lumayan, lah, dari pada enggak, ku coba tulis sebuah lagu tentang perjalanan sampai hari itu. Sudirman ikut menemani, membawa secangkir kopi lagi. Dimintanya selembar kertas dari bukuku untuk dicoret-coret. Kami berdua larut dengan prakarya masing-masing, diam-diam. Menyongsong sore yang senantiasa aneh, di beranda atas kontrakan si Tilam.
***
Sebenarnya, seberapapun dekatnya engkau dengan kawanmu, tetap saja hidup menumpang dalam jangka waktu yang semakin lama di rumah kontrakannya membuat ada suatu perasaan nggak enak pada batinmu. Apalagi dia juga bersama dengan teman-temannya yang lain, sedangkan engkau tidak ikut membayar. Meskipun si Tilam itu asyik dan santai saja orangnya, bahkan jika kami terus-terang bilang merasa tidak enak dia malah marah, tetapi perasaan tetaplah perasaan. Rasa segan tetaplah harus ada selagi manusia masih menjadi manusia. Aku, si Kojek, Ca’ang, Sudirman, dan Pikon mulai merasakan suatu keresahan dalam diri. Lebih-lebih aku, Ca’ang dan Kojek yang belum juga dapat sesuatu yang bisa dijadikan tempat berpijak di Tanah Rantau, barangkali untuk sementara waktu saja. Untungnya Pikon dan Sudirman rela menemani kami sampai dapat pekerjaan itu, sebelum mereka balik ke tempat perpijakannya masing-masing.
Pagi itu tiba-tiba ada ajakan dari si Kojek, dia memutuskan untuk menyambangi uni-nya yang sudah berkeluarga dan menetap di suatu desa di pojok Banten, di sudut sebuah kabupaten yang berbatasan langsung dengan selat Sunda di ujung barat pulau Jawa, yakni Pandeglang.
“Bagaimana lagi, kan? Terpaksa menghubungi saudara lagi. Siapa tahu Uni ku atau suaminya bisa nunjukin jalan buat kita,” kata si Kojek.
Aku yang sudah agak buntu menerima ajakannya si Kojek. Sedangkan si Ca’ang pergi tes wawancara ke salah satu perusahaan hari itu. Jadilah akhirnya aku, si Kojek dan Sudirman berangkat ke Pandeglang. Ca’ang ditemani oleh Pikon ke Jakarta. Kami bubar sehabis ngopi.
***
Oleh sebab pertama kalinya menempuh perjalanan Jakarta-Pandeglang, kami kurang menguasi medan. Yang pertama, kami salah menentukan di stasiun mana akan turun dari KRL, jadi mesti banyak mengeluarkan ongkos naik angkot. Yang kedua, sesampai di Pandeglang kami salah tempat turun dari angkot, karena jalurnya yang kurasa memutar, maka terpaksa harus jalan kaki cukup jauh untuk sampai ke toko uni si Kojek yang lokasinya di sebuah pasar tradisional di Pandeglang. Tetapi itu semua tak lain dan tak bukan adalah keasyikan yang hakiki.
Uni dan kakak ipar si Kojek baik. Keduanya sama-sama suka bercanda. Mereka loyal dan royal. Beragam pertanyaan kami jawab dan lontarkan, aneka macam makanan dan minuman disuguhkan. Di pasar itu Uni Kojek membuka toko sederhana yang berisi perlengkapan bayi dan pernak-pernik khas anak perempuan, bersama suami dan dua anaknya yang masih balita. Kami menghabiskan siang hingga sore di pasar, menunggu sampai toko tutup sembari bermain dengan keponakannya si Kojek, membantu-bantu yang patut dibantu, atau untuk sekadar istirahat di sana sambil ngobrol. Sebab mengingat kondisi yang sibuk, tak mungkin Uni Kojek atau kakak iparnya langsung mengantar kami ke rumah yang berjarak cukup jauh dari pasar.