Aku tahu Jakarta adalah metropolis, banyak yang tahu itu. Bahkan, jangan-jangan sudah megapolis? Ah, tetapi tidak yakin benar-benar tahu apa tepatnya makna metropolis atau metropolitan atau megapolitan itu. Kalaulah dikaitkan dengan kemodernan atau kemajuan yang ditandai dengan aneka macam kecanggihan, kemudahan atau pesatnya aktifitas perekonomian, kurasa Jakarta tak sepenuhnya sudah maju atau modern. Barangkali karena luasnya, kepadatan penduduk serta menjadi pusat perekonomian, bisa jadi.
Aku melihatnya dari sisi yang lain. Sisi yang mungkin ada yang memperhatikan tetapi tidak peduli. Atau mungkin peduli, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Yang kuambil dari Jakarta adalah kota penuh kemirisan, kota yang diperkosa. Kota yang memprihatinkan dari segala macam aspek. Kesemrawutan, kebobrokan moral, hilangnya budaya tradisi dan runtuhnya nilai-nilai sosial dipertontonkan bahkan di tempat-tempat umum. Jauh berbeda dari yang suka kubayangkan melalui televisi.
Di Jakarta, aku menyaksikan seolah-olah barangsiapa yang ingin uang, marilah ke Jakarta, tetapi dengan resiko harus siap terinjak-injak. Kota yang mesti supercepat. Yang lengah akan ditebas, yang lamban ketinggalan, semua demi materi, bukan semata-mata demi kehidupan. Tidak, aku tidak menyalahi Jakarta, tetapi bagiku dia adalah korban dari keserakahan zaman, pusat dari kesenjangan peradaban. Dan aku mesti bertanya tentang kenapa semua orang harus ke Jakarta?
Aku, Kojek dan Sudirman telah menyusuri sore di sebagian penjuru Jakarta. Monas tak begitu menarik perhatianku ketika kami singgah ke sana. Berbeda dengan saat dulu di kampung, ingin sekali aku ke tempat yang digadangkan sebagai simbol sakral dan utama Ibu Kota itu. Dulu, dari cerita-cerita anak rantau yang pulang kampung, bahwa kalau belum ke Monas berarti belum ke Jakarta. Orang-orang udik kampung selalu bisa menentukan ukuran dan menandai sesuatu menggunakan teori semiotiknya sendiri. Aku tak peduli itu. Monumen kejantanan yang diagung-agungkan, katanya itu, barangkali sudah tak jantan lagi kini.
Tak ada hal-hal khusus yang mengasyikkan kecuali hanya kami yang baru dan bebas ngapain aja di sudut Jakarta dengan tidak perlu malu, sebab tak ada yang kenal dan mau tahu.
***
Kami sambung-menyambung menaiki angkot menuju stasiun kereta untuk kembali ke Duri Kosambi. Menebas arus gerak manusia nan padat oleh segala macam kalangan. Kojek maupun Sudirman tak banyak bicara lagi, hanya sekali-kali jauh saja, mungkin sama-sama sudah lelah. Aku juga, memilih duduk agak menjarak biar tak terlalu panas. Semua keadaan terasa sesak dan bikin gerah saja.
Sepanjang jalan terbayang olehku bagaimana asyiknya sore-sore di tepi sawah di kampungku sewaktu kecil dahulu, duduk di sebuah batu besar menikmati tiupan angin yang amat segar. Sesekali burung bangau berlalu pulang beserta rombongan, membentuk formasi-formasi unik yang sampai sekarang masih terbayang-bayang di angan-angan. Para petani pulang dari sawah, sekujur wujudnya bergelimang sisa lumpur yang berjatuhan ke jalanan kasar setengah aspal, setengahnya tanah-tanah berlubang. Kadang-kadang pula lewat bapak-bapak meracak mesin bajak yang sudah diberi roda ban agar bisa jalan di aspal itu, alangkah uniknya hal-hal yang kami pernah saksikan di tengah keterudikan. Aku membayangkan hal itu di Jakarta ini, yang mustahil ada dalam penglihatan masa kini.
Zaman kereta api pembawa batubara masih aktif dahulu, kalau tidak salah kala itu aku belum lagi masuk SD, setiap kali kedengaran tanda-tanda gemuruh dan jerit trompetnya dari jauh, kami langsung berhamburan menuju batu besar di sawah Wak Limar. Dari sana jelas tampak 'Si Sirah', kereta api era dieselisasi, generasi pengganti kereta uap sebagai sarana pengangkut batubara dari Sawahlunto menuju Teluk Bayur, merayap lambat-lambat dengan deru dan bising desisnya. Setiap kami amat antusias menyaksikannya, tak jarang pula disertai debat. Bagi kami, barangsiapa yang ketinggalan melihat Si Sirah lewat hari itu, artinya sudah merugi besar. Sebab Si Sirah tidak setiap hari melewati jalur kereta api di kampung kami.