“Hidup ini keras kawan, dan kita kalah keras.
Mungkin sendiri adalah jalan keluar...”
Semalam-malam itu, kucoba berulang-ulang mendapatkan irama yang pas untuk lirik yang selesai kubuat, lalu kurekam menggunakan smartphone, takut-takut kelupaan. Aku lagi-lagi ditemani Sudirman yang masih sibuk dengan ilustrasinya, di beranda atas. Sedangkan yang lain masing-masing mengobrol atau main-main hp saja. Si Tilam baru kembali dari kampus saat itu.
Tak lama selesai lagu kurekam, kudengarkan kepada Sudirman pertama-tama sekali. “Bagaimana, Dir?” tanyaku ke dia.
Sudirman dengan serius mencoba mendengarkan, ekspresinya aneh; sedikit tersenyum dengan kening agak berkerut, pandangannya rancu, kadang ke atap, kadang beralih ke aku. Satu kali putaran, tiba-tiba saja dia berlari masuk ke dalam, membuat semua orang kaget. Direbutnya ‘jack’ speaker dari tangan si Ca’ang yang juga sedang memutar lagu lewat hp, lalu disambungkannya hp-ku ke speaker itu.
“Sebentar, sebentar! Mari dengarkan ini...” paksanya.
Kemudian, lagu yang kurekam malam itu dengan smartphone seadanya, lagu pertamaku di tanah rantau, mengalun berulang-ulang merajai tangga lagu di kontrakan si Tilam, semalam suntuk. Sedikit aku bangga, dielu-elukan.
Lagu itu sesuai dengan apa yang kami rasakan pada hari-hari terakhir berkumpul di sana, di kontrakan Tilam, di tanah rantau bertuah itu. Perasaan yang aneh.
“Kenapa cuma lima? Kan, kita ramai sekawan?”, tanya Tilam. Disetujui oleh yang lainnya. Aku tersenyum simpul.
“Coba luruskan jari-jari tangan kanan kalian,” pintaku. Semuanya meluruskan jari-jari tangan kanan. “Jarinya memang cuma lima, tetapi, ruas-ruasnya banyak, kan?”
Mereka tampak kebingungan.
“...Aah, sudahlah. Itu kan, cuma simbol saja,” tegasku kemudian.
“Ooo... begitu, ya.” Mereka tampaknya masih kurang paham. Si kojek, dengan tampang anehnya masih menghitung-hitung ruas-ruas jari tangannya, membuat si Tilam ketawa-ketawa melihat tingkahnya.
Bang Ferdi, Imam, Bang Tomi, Johan dan Bang Rizki juga hanya tertawa menyaksikan perbincangan kami yang satu sekolahan itu, sesekali mereka ikut menyahuti.
Si Sudirman mengambil ilustrasinya yang dari kemaren-kemaren dibuat akhirnya selesai juga. Tampak pada sehelai kertas itu oret-oretan kasar pena menyerupai beberapa sosok yang saling merangkul, semacam antara siluet dengan figuratif yang samar-samar, tetapi dengan setelan yang... rasa-rasanya aku paham maknanya.
Lantas dirobeknya sendiri karyanya itu sebanyak enam sobekan, sesuai jumlah kami, dan dibagi-bagikannya. Satu sobekan tersebut berisi satu sosok figur yang khas dengan masing-masing kami, semacam puzzle.