Dari Ujung Ke Ujung

Mr.Qatam
Chapter #19

Kranji

Sehabis ashar Sabtu itu, kami berangkat ke Bekasi, seperti biasa, naik kereta. Berdua saja kali ini, yaitu aku dan Tilam. Aku sudah membawa semua barang-barangku dalam satu ransel yang cukup besar, kalau-kalau Mamak si Tilam tak butuh orang untuk tokonya, aku sudah berencana lanjut ke Pondok Ungu, ke tempat uda-uda yang di sana lagi saja, setidaknya, sekadar menginap barangkali bisa, sambil membantu-bantu apa yang bisa dibantu.

Di stasiun transit Jatinegara, cukup lama kami duduk menunggu berkurangnya kepadatan calon penumpang yang mau ke Bekasi. Aku sangat malas harus rebutan dan berdesak-desakan naik kereta dengan beban yang berat. Kebanyakan penumpang adalah para lelaki dan perempuan yang bekerja di Jakarta, atau barangkali mahasiswa yang mau pulang ke rumah masing-masing usai berkutat dengan ragam kesibukan kampus.

Jenuh aku menunggu, begitu pula si Tilam, sampai maghrib tak kunjung stasiun lengang, bahkan bertambah-tambah. Herannya gerbong yang sesak hanya gerbong yang tak khusus wanita. Bahkan mereka, para wanita malah lebih memilih berdesakan di gerbong campuran, barangkali lupa atau bagaimana. Maka aku dapat ide, kuutarakan ke si Tilam yang ketawa-ketawa menyetujui lagi-lagi kegilaanku.

Itu adalah keusilanku dan Tilam, yaitu kami yang tanpa mau memperpanjang waktu lagi, memutuskan menyelundup di antara desak-desakan ramai orang itu ke gerbong khusus wanita, secara pura-pura tidak tahu. Pintu sigap tertutup, ulat cepat itu mendesis sebelum mulai melaju.

Si Tilam susah menahan ketawa setelah sesaat kami dan semua penumpang perempuan sama-sama terpaku kaku, sedangkan anehnya mukaku malah memerah. Beberapa mbak-mbak terdengar protes, beberapa kakak-kakak menertawai kami berdua. Lantas dengan pura-pura khilaf dan minta maaf, kami segera menyeberang ke gerbong umum, menyela di antara desakan penumpang lainnya. Si Tilam tertawa sampai sakit perut, untung tak ada petugas keamanan yang melihat kejadian itu.

Aku sudah tidak asing dengan rute-rute KRL seperti ke Bogor dan Bekasi. Bahkan terbilang sudah mencoba keseluruhan jalur itu, sudah hapal urutan tiap-tiap stasiun pemberhentian yang akan diumumkan kondektur. Tetapi sepertinya kepadatan penumpang tak akan berkurang sampai pemberhentian akhir, di Bekasi. Si Tilam tampak kesusahan bergelantungan akibat badannya yang pendek. Aku yang tak dapat tempat untuk menggantung tangan, memegang erat-erat besi vertikal pembatas tempat duduk. Kami masih terjepit di banyak ketiak ketika si Tilam akhirnya mengajak turun, yaitu di stasiun Kranji. Dengan susah payah kami berdua menjangkau pintu, meminta permisi pada orang-orang yang kukuh mempertahankan tempat mereka menggantung tangannya, takut diambil orang lain. Membuatku sangat jengkel.

Di Kranji, matahari sudah terbenam sepenuhnya. Kami segera keluar dari kebisingan stasiun yang membuat kepala pusing, si Tilam langsung menelpon mamaknya, mengabarkan bahwa kami sudah sampai. Dari awal, aku memperkirakan Mamak si Tilam ini seorang bapak-bapak yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun, dengan rambut ubanan, badan besar dan perut buncit layaknya seorang pengusaha yang gagah, paling-paling datang dengan kemeja atau kaos berkerah dan celana dasar bersanding tajam yang sengaja dibuat dengan setrika, menjemput dengan setidaknya mobil pribadi biasa yang agak mengkilap bagai tak pernah digunakan, kecuali sesekali. Biasanya bapak-bapak begini ada yang agak songong dan cuek, sok menjaga wibawanya sebagai pengusaha Minang yang sudah sukses di tanah orang, dan aku mesti siap-siap ambil sikap.

Smartphone si Tilam berdering, ia lalu mengangkat telpon itu, kemudian si Tilam mengode-ku mengajak berjalan ke depan, ke gerbang utama stasiun, di pinggir jalan raya. Di luar sana aku ikut menoleh kiri-kanan, mencari mobil yang kira-kira itu adalah Mamaknya Tilam. Tetapi tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh kekar pendek berteriak dari arah warung kaki-lima kecil di kiri gerbang, berjalan mendekat kepada kami sembari tersenyum renyah. Laki-laki itu memakai celana jeans dan jaket jeans yang tak diresletingkan dengan kaos hitam bergambar “The Beattles” di dalamnya, kalung rantai besar melingkar di leher, serta mengenakan topi yang juga jeans. Perawakannya mirip-mirip si Tilam, bagian bahu sedikit bungkuk, berotot dan berurat, tampak lincah dan pekerja-keras sekali.

Aku betul-betul heran, paham ‘Suudzonisme’-ku, yang kali ini perihal bapak-bapak songong, lagi-lagi keliru. Si Tilam begitu akrab dengan mamaknya itu, mereka mengobrol heboh sebentar, lalu ia memperkenalkan aku kepada mamaknya. Mamak si Tilam tampak agak mengerutkan kening menatapku, seperti sedang mengenali sesuatu.

“Dima kampuang, Malin?” tanyanya. (Dimana Kampung?). Kusebutkan nama kampungku kepada mamak Tilam. Raut mukanya yang tadi menyelidik mulai tertawa, seolah-olah tebakannya hampir benar.

“Eeheh? Serius tu?”, tanyanya lagi memastikan. Si Tilam ketawa-ketawa saja. “Sekampung kita? Eh, yang benar sajalah, anak siapa gerangan Malin ini?” Mamak si Tilam kian histeris bertanya, memastikan tebakannya akan benar. Lalu aku menjelaskan tentang diriku kepada Mamak si Tilam secara detail. Dia sudah menduga, tentu saja dia tahu dengan Apak dan Amak, tetapi di antara anak Apak dan Amak, yang ia tahu hanya Akak, yang masih kecil-kecil ketika dia sudah pergi merantau dahulu.

Mamak si Tilam tak menggunakan mobil seperti dugaanku, motor bebeknya terparkir tak jauh dari warung kecil itu. Kami bonceng tiga ke rumahnya, sepanjang jalan ia terus memperkenalkan apa saja kepadaku dan juga Tilam, ia juga bercerita tentang posisi tokonya pada awal mula merintis usaha, atau beberapa toko yang juga milik orang Solok di sana. Sepanjang jalan juga kami terus tanya-jawab berkenalan lebih dalam. Mamak Tilam dengan senang hati, dengan suara lengking yang agak tinggi, namun bunyinya dalam, menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.

Lihat selengkapnya