Kira-kira tiga bulan sudah aku menguasai Kranji, Bintara dan sekitarnya. Sudah akrab dengan ratusan gang-gang sempit, puluhan simpang, jalan-jalan memotong, dan tua-muda ramai tetangga. Sudah pula dapat mengganti rona pakaian, dan alhamdulillah, meskipun tak sebanyak bonus-bonus yang kudapat semasa bekerja di Bogor, tetapi dengan jumlah tak seberapa itu aku sudah bisa mengirimi orang tua di kampung, setidaknya untuk pelengkap aksesoris sekolah adik-adik, itu suatu hal yang membuat semangat semakin berkobar, memotivasi.
Tetapi aku belum menceritakan tentang Kang Yadi dan Cecep, orang Sunda asli Purwakarta yang gokil abis itu. Kang Yadi dan Cecep bukan anggota Om Hengki, tetapi anggota Pak Kasman, mitra Om Hengki yang asli orang Bayang, Pesisir Selatan. Mereka bersama mengontrak satu toko cukup luas, di Jalan Baru Kranji, Om Hengki sebelah dengan isian segala macam aksesoris dan tas, sedang Pak Kasman sebelah lagi dengan fashion, sebagai pembatas toko hanya pagar perasaan dan berpandai-pandai.
Kang Yadi sawo matang, sekitar empat tahun di atasku umurnya, berbadan tegap berurat-urat, rambut lurus pendek, ramah dan senantiasa penuh canda. Awal perkenalan, padaku dia mengaku orang Pesisir Selatan pula, pun aku setengah percaya setengah ragu, bahasa dan logatnya dalam berbahasa Minang memang sangatlah fasih, tetapi ketika berkenalan denganku dia seperti bercanda dengan senyum tak lepas-lepas, ada pula sebab sebelumnya aku mendengar dia juga fasih berbahasa Sunda tatkala bicara dengan Cecep. Beberapa waktu kemudian barulah aku tahu dari Cecep yang jujur, bahwa Kang Yadi itu memang suka bercanda, dia sekampung dengan Cecep. Aku kagum dengan kemampuan berbahasa Minangnya, yang ternyata karena sudah lama berbaur dengan orang-orang Minang di seantero Bekasi, khususnya dengan Pak Kasman, sudah enam tahun ia bekerja. Jadi tak heran pula Pak Kasman telah mempercayakan toko itu kepadanya.
Lain Kang Yadi lain Cecep. Dia anaknya pendek namun kekar berisi, kulit langsat, rambut ikal belah tengah hitam dan rapi. Selain jujur, lurus juga tak banyak bicara. Tetapi sekali keluar, setiap sahutannya adalah candaan, tak ada habisnya sampai semua orang puas terpingkal ketawa. Mereka keduanya sama-sama sangat cekatan, tidurnya di toko itu bertiga dengan Ari juga.
Setiap pulang dari Bintara, kami mesti mampir ke toko yang di Kranji itu, sebab memang jalannya juga lewat sana, lalu bersama-sama membantu Pak Tuo Marsinus menutup toko. Setelah itu aku pulang membonceng Pak Tuo ke rumah Om Hengki, bersama Om Hengki dan Ante Mirah dan juga anak-anaknya, sedangkan Ari menetap di toko. Aku sebenarnya ingin sekali tidur di toko itu bersama Ari, Kang Yadi dan Cecep karena sepertinya asyik dan banyak ngobrol, tetapi kata Om Hengki akan susah jika aku dan Ari dua-duanya tidur di toko Kranji.
Rutinitasku setiap hari adalah bangun subuh dengan susah payah lalu segera mandi, kadang-kadang sempat mengopi atau ngeteh dengan beberapa makanan kecil bersama Om Hengki dan Pak Tuo, sementara itu Ante Mirah memasak bersama Nek Linar, ibunya, sembari mengemasi Abang, anak pertama mereka untuk pergi sekolah. Karena aku sudah bisa membuka toko dan mengatur susunan barang sendiri, maka aku dapat lebih dulu berangkat, biasanya jam delapan, sedangkan Om Hengki dan Ante Mirah menyusul sekitar jam sembilan. Di Kranji, Ari biasanya sudah bangun dan menungguku, tetapi toko aksesoris itu belum buka karena bukanya jam sembilan atau sepuluhan, jadi dialah yang mengantarku ke Bintara, nanti motor dibawanya lagi untuk pulang pergi mandi setelah toko itu selesai dibukanya dan Pak Tuo datang menggantikan, sehabis itu barulah Ari terus pula ke Bintara. Begitulah kehidupanku, benar-benar diajak masuk ke dalam sistem yang unik, tetapi yang jelas lebih merdeka rasanya dari yang sebelum-sebelumnya, barangkali sebab batinku tak terlalu tertekan.
***
Hari ini, 2014 sudah sampai di penghujungnya.
Nanti malam tahun sudah akan berganti. Om Hengki telah menyetok banyak trompet dan aneka kembang api yang sepanjang sore itu sudah hampir ludes dan cukup membuat kerepotan. Aku tak begitu arif soal trompet atau kembang api pada pergantian tahun Masehi adalah budaya yang berasal dari mana, pun tak begitu idealis soal itu. Yang jelas aku bekerja di sana, kalau ada yang beli, ya, kulayani saja.
Kami tutup seperti biasa malam itu, tak ada yang istimewa selain hanya hiruk-pikuk warga dan kemacetan di sepanjang jalan-jalan raya Bintara. Jam setengah sebelas kami sampai di toko di Kranji, Jalan Baru yang lebih lebar itu bahkan lebih macet dari pada jalan Bintara. Orang-orang ramai sekali, suasana meriah. Sepertinya toko aksesoris boleh tutup lebih lama, banyak orang yang akan menikmati kembang api pergantian tahun di sana, barangkali masih ada yang berbelanja. Aku dan Ari bergabung dengan Kang Yadi dan Cecep yang duduk bersama-sama dengan Pak Tuo Marsinus di depan toko, tampaknya mereka sedang asyik mengobrol. Om Hengki sesampainya di sana sepertinya pergi menyempatkan bertandang ke tempat temannya ke toko mainan tak jauh dari sana yang belum tutup, Ante Mirah dan Nek Linar membawa Abang dan Adek bermain-main melihat-lihat di sepanjang tepi jalan yang penuh dengan pedagang kaki lima.
Pak Tuo Marsinus telah berumur sekitar enam puluh tahun lebih, separo lebih umurnya telah ia habiskan dalam urusan perdagangan. Di usia yang sudah lebih dari separuh abad itu, ia masih kuat meski jalan sedikit tengkak. Tak pernah dilihatkannya raut muka lelah atau kalut, ia selalu ceria terhadap orang-orang, meskipun kadang-kadang suka tampak bermenung sendiri. Malam itu, di meja kami di antara sesaknya malam tahun baru, berkisah ia tentang masa-masa bujangnya kepada kami.
“...Malin, dengar-dengar kabar, pintar sekali ang membuat kopi, ya?” tembak Pak Tuo kepadaku tak lama setelah duduk di sana.
“Iya, kemaren ini dibikinnya kopi, yang dari Batusangkar itu, apa namanya? Rangkiang, ya, enak sekali Pak Tuo!” Kang Yadi ikut menambah-nambahkan.
“Sampai-sampai naik asam lambung, saking lupanya kalau sudah tiga gelas minum sekali duduk?” Cecep ikutan menyela. Semua orang ketawa.
“Aah, bilang saja Pak Tuo minta dibikinkan kopi? Sudah arif saya itu...” ucapku. Pak Tuo ketawa terkekeh-kekeh.
“Sudah lama Pak Tuo tak minum kopi, Malin, coba pula lah, bagaimana rasanya kopi racikan wa’ang tu, selama di sini kan belum pernah mencoba.”
“Nanti naik pula asam lambung Pak Tuo, kami pula yang repot,” godaku.