Dark After White

kar.
Chapter #3

Lampau

Bullying adalah suatu tindakan yang sangat merugikan orang lain dan bisa membahayakan orang lain. Banyak dampak yang akan terjadi terhadap korban bullying itu sendiri. Tidak jarang juga, pelaku tersebut mendapatkan dampaknya juga. Masa depan si korban akan terganggu dan bisa menyebabkan trauma berkepanjangan dan perubahan tingkah laku serta kepribadiannya. Itulah sebabnya sebisa mungkin, bahkan harus, menghindari tindakan ini. Namun, miris sekali di sini. Tindakan bullying sudah sangat banyak, sehingga seperti sebuah kebiasaan yang dilaksanakan turun temurun.

9 tahun yang lalu

Tepat saat aku memasuki umur 5 tahun, ibuku sudah memasukkanku ke sekolah dasar yang ada di dekat rumahku. Memang sejak kecil, aku sangat menyukai dunia pendidikan, itulah sebabnya, begitu usiaku menginjak 5 tahun, ibuku langsung memasukkanku ke sekolah dasar tanpa melalui TK atau PAUD. Sejak kecil juga aku sudah sangat aktif bertanya dan ingin mengetahui segala hal, baik hal yang masih masuk akal ataupun tidak, seperti bertanya kenapa cacing di sebut cacing dan sebagainya. Untung saja, keluargaku menyediakan dan mengembangkan keterampilanku, sehingga aku bisa dengan cepat menangkap semua informasi.

Semuanya berjalan normal dari kelas satu sampai kelas dua, sampailah pada saat aku memasuki kelas tiga, di mana semuanya berubah sekarang.

“Woy Negro, cepat sini.” Mereka melambaikan tangannya padaku.

Aku tidak tahu penyebabnya, mereka mulai memanggilku dengan sebutan “Negro”. Negro itu sebutan untuk orang yang berkulit hitam, tetapi kulit itu sawo matang karena aku suka bermain di bawah terik matahari sepanjang waktu.

Mereka terus memanggilku dengan sebutan itu. Oh ya, ada satu teman kelasku, dia cowok dan dia menjabat sebagai ketua kelas. Dia selalu mendekatiku dan melakukan sesuatu untukku. Hal itulah yang membuat temanku cemburu. Tapi, aku tidak tahu mengenai perasaan dan juga cinta. Jadi, aku menganggap mereka sebagai temanku saja. Mungkin hal itulah yang menjadi penyebab cowok itu membenciku dan mulai mempengaruhi temannya yang lain untuk bersama-sama membullyku.

Mereka mulai membullyku, baik secara verbal maupun fisik. Aku yang dulu ceria, mulai menjadi anak yang lumayan pendiam. Hanya saja, mungkin aku terlalu muda untuk menghadapi semua ini, jadi aku tetap tersenyum dan gembira bermain bersama mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan kepadaku. Hatiku sakit, namun aku tidak tahu perbuatan mereka ternyata menyakitiku. Dan aku juga tidak tahu tentang bullying. Aku masih tetap tersenyum dan bermain bersama mereka, meskipun hal itulah yang akan membuatku sakit dan masa depanku berubah.

Sampai suatu hari, bully itu mulai merembet ke arah fisik. Mulai dari tamparan, cubitan dan juga memar ditubuhku.

Pernah satu waktu, aku hampir kehilangan suaraku untuk selamanya, untung saja aku masih di takdirkan untuk memiliki suara.

Waktu itu kejadiannya persis setelah aku dan teman kelasku selesai melaksanakan praktik shalat berjamaah di dalam kelas. Aku yang saat itu tengah berdiri, didorong keras oleh salah satu temanku, hingga aku terjatuh dengan sangat keras, menghantam lantai keramik.

Lihat selengkapnya