Sudah beberapa hari ini, aku mulai menjauhi kakak karate. Sampai sekarang aku tidak tahu siapa nama kakak tersebut. Aku juga tidak mau mengetahui namanya. Dia sangat menyebalkan, aku tidak punya masalah apa pun dengannya, tetapi dia malah menggangguku. Memang cari masalah saja dia.
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah, tampak dari depan sesosok siluet cowok yang aku kenal, dia adalah kakak karate. Saat wajah kami saling bertemu, aku segera membalikkan badanku, dan kembali lagi ke kelas. Aku mengurungkan niatku yang awalnya aku ingin pergi ke kantin.
Aku sangat lapar sekarang, setelah aku rasa semuanya aman, aku memberanikan diriku untuk keluar. Syukurlah aku tidak bertemu dengan kakak itu lagi.
Aku melihat sekeliling untuk memastikan keadaan, ekor mataku menangkap sosok yang aku kenal. Dia tersenyum padaku, tanpa sadar sudut bibirku terangkat, menampilkan senyum indahku. Dia adalah Jitendra.
Tidak aku sangka, aku akan bertemu dengannya di kantin. Dia tampak sangat bahagia dan tertawa bersama temannya. Dari tadi aku terus memperhatikannya, dan tanpa sadar dua temanku datang mengagetkanku.
“Woi Len, kamu liatin siapa tuh?” tanya mereka berdua sambil tersenyum menggodaku.
“Apasih kalian, ngagetin aku aja. Lain kali kalau mau datang, bilang dong. Ini kaya jailangkung aja,” gerutuku.
“Iya maaf hehe, lagian kamu lagi liatin apa sih? Fokus amat.” ucap salah satu temanku.
“Kepo amat. Ya sudah yuk, kita balik ke kelas.” Aku mendorong temanku untuk pergi dari kantin.
Tampaknya tidak aman jika aku memperhatikan Jitendra terus, yang ada, mereka semua akan tahu kalau aku menyukainya.
Selama beberapa hari ini, aku selalu memata-matai Jitendra. Entah sudah berapa kali aku memperhatikannya, bahkan aku sengaja berjalan lumayan jauh untuk sampai kelasku, agar aku bisa melewati kelasnya dan bisa berpapasan dengannya. Saat guru memintaku untuk membawakan bukunya ke kantor, aku akan dengan sengaja mengambil jalan memutar agar aku bisa lewat depan kelas Jitendra.
Aku bahkan mengumpulkan beberapa informasi mengenai dirinya. Alamat rumah, ibunya, bahkan nilai raportnya. Jangan tanya aku mendapat semua itu dari mana, sudah pasti banyak yang menjadi asistenku hahaha. Maklum saja, aku sedang menyukainya sekarang, jadi aku mencari informasi tentang dia. Tetapi tenang saja, informasi itu tidak aku gunakan untuk kepentingan yang buruk, aku hanya ingin mengetahuinya saja.
Sekarang aku tahu, kalau aku mulai menyukai Jitendra. Walaupun terkadang dia juga lumayan aneh, tapi dia sangat lucu.
“Ayo Len, naiklah.” Aku dan temanku pergi untuk berjalan-jalan setelah pulang sekolah ini.
Sepeda motor melaju di jalanan yang rindang dan juga sejuk. Suasana kali ini sedang mendung, aku merasa damai sekarang.
Laju motor yang lumayan kencang membuat angin menerpa wajahku. Dengan lembutnya menyentuh kulitku. Sepanjang perjalanan, sesekali aku membayangkan sedang duduk di sepeda motor dengan Jitendra. Membayangkannya saja membuatku bahagia.
Kami berputar-putar mengelilingi jalanan desa, hingga sampailah kami di suatu desa, yang di mana desa itu merupakan tempat tinggal Jitendra. Kami berhenti di sebuah warung seblak.
Kami berbincang-bincang mengenai berbagai hal, tidak lupa juga mengenai Jitendra. Aku baru mengetahui kalau tempat tinggal Jitendra ada di desa ini. Aku merasa sangat senang, walaupun hanya melihat desanya saja. Itulah yang dinamakan cinta.