Hening kembali menyelimuti ruangan setelah pesan mengancam itu muncul di ponsel Tae Ho. Namun di kepala Juno dan Tae Ho, ingatan Tae Ho mulai terbuka, ingatan gelap tentang teror pertama yang ia sembunyikan dari siapa pun, termasuk Jinni.
Tae Ho menatap Juno lama sebelum akhirnya berkata,
“Apa kamu yakin ingin mendengar semua ini? Masa lalu yang akan aku ceritakan… bukan sesuatu yang mudah diterima.”
Juno mengangguk tanpa ragu.
Tae Ho menarik napas panjang, lalu mulai membuka kisah yang selama ini ia kunci rapat.
EMPAT BULAN LALU.
Rumah itu masih seperti sekarang, sepi, berdebu, jarang disentuh. Tae Ho datang hanya sebentar untuk mengambil kartu nama dari laci. Namun hari itu, sesuatu terasa berbeda.
Begitu senja jatuh, lampu lorong rumah menyala dan mati sendiri, seolah ada yang menyentuh saklar.
Tae Ho mengabaikannya.
Namun ketika ia membuka pintu rumah, kotak hitam pertama sudah menunggu di depan pintu. Ukurannya besar. Berat.
Tidak ada nama pengirim.
Tidak ada stiker.
Hanya kotak hitam yang tampak basah di beberapa bagian, seperti habis terkena hujan meski hari itu cerah.
Saat itu Tae Ho belum curiga. Ia kira seseorang salah mengantar paket.
Namun ketika ia membuka kotak itu, aroma hangus langsung menyengat hidungnya.
Ia menemukan baju Jinni yang terbakar, penuh jelaga dan noda gelap.
Wajah Tae Ho berubah pucat.
“Tidak mungkin…” gumamnya.
Ia melihat label kecil di sudut baju.
Label yang ditulis tangan.
Tulisan yang membuat darahnya berhenti mengalir:
“Aku melihatnya."
“Kau tidak bisa menyembunyikannya.”
“Dia akan kembali padaku.”
Tae Ho meremas kertas itu, jantungnya berdetak kencang.
Siapa yang menulis ini?
Mengapa mereka tahu tentang kecelakaan Jinni?
Lebih buruk lagi.
Mengapa paket itu dikirim ke rumah yang hanya diketahui oleh Jinni dan dirinya?
Tae Ho langsung menghubungi Jinni malam itu.
Namun telepon Jinni sibuk.
Lalu mati.
Itu pertama kalinya ia merasakan firasat buruk bahwa ada orang lain yang mengetahui lebih banyak tentang hidup Jinni daripada Jinni sendiri.