DARK AND LIGHT IN THE PERFECTION

Nengshuwartii
Chapter #4

BENCANA ALAM

14.00 waktu setempat Slowakia.

Pesawat Jinni akhirnya mendarat di Bandara Bratislava MR Štefánik (BTS), terminal B. Pintu pesawat terbuka, udara asing pun menyerbu. Jinni menarik napas pertama di negeri yang belum pernah ia jamah sebelumnya dan langsung menggigil.

Udara itu… bukan dingin biasa.

Ada sesuatu yang menusuk tulang, seolah angin membawa cerita lain. Cerita masa lalu, yang seharusnya sudah mati.

Dengan langkah tenang namun hati penuh gelisah, Jinni berjalan keluar. Ia duduk di kursi panjang dekat pintu keluar terminal, menggulung syal tipis yang tidak mampu menahan dingin Eropa Tengah yang terkenal tidak bersahabat.

Ia mengecek ponsel. Tidak ada sinyal. Baterai 5%.

“Kenapa dingin sekali…?” gumamnya sambil menggigil.

Seolah udara ini tidak hanya dingin, tetapi memperhatikan.

Panik kecil merayap di dada Jinni. Ia berdiri, mencari colokan listrik dan akhirnya menemukan spot pengisian daya di dekat mesin penjual kopi. Sambil menunggu, ia menatap layar-layar monitor di terminal.

Dan saat itulah, monitor mendadak berganti menjadi siaran darurat.

Bahasa yang tidak ia mengerti. Kata-kata asing. Gambar sungai yang meluap, rumah terendam, jalanan terpotong air bah, langit gelap pekat seperti malam.

Jinni merunduk sedikit, berusaha membaca apa pun yang bisa ia cerna. Namun semuanya tanpa arti. Ia menggigit bibir, matanya gelisah menatap sekeliling.

Hingga seseorang menepuk pelan pundaknya.

“Are you lost?” suara seorang pria beraksen Australia.

Jinni segera mengangguk. “Do you understand Slovak?”

“Just a little,” jawabnya sambil tersenyum hangat.

Pria itu menjelaskan isi berita: badai besar tengah melanda Eropa Tengah, termasuk Slowakia. Badai yang dinamai Boris. Sungai-sungai di Bratislava meluap, sebagian akses jalan diblokir, dan pemerintah mulai mengevakuasi warga.

Jinni terperangah.

Banjir? Di negeri orang? Tanpa mengenal siapa pun? Tanpa bahasa? Dan tanpa profesor Kim yang ia harapkan menjemput?

Ia menelan ludah, mencoba mengusir kecemasan.

Hujan mulai jatuh.

Setetes.

Dua tetes.

Lalu berubah menjadi tirai air yang menghantam atap bandara.

Dentingan halus berubah menjadi dentuman keras, seperti ribuan jarum besi menghantam kaca.

Langit mendadak pekat.

Awan bergerak cepat, seperti digiring oleh angin yang sangat marah.

Petir menyambar.

Suara gedebum memecah udara, membuat jantung Jinni meloncat ke tenggorokan.

Semua orang mulai panik. Para petugas sibuk berteriak, mengarahkan penumpang menuju titik evakuasi. Anak-anak menangis, sebagian dewasa berusaha menenangkan.

Sementara Jinni berdiri di antara kerumunan, menggenggam ponsel yang baterainya kini hanya 3%. Ia menatap layar. Tidak ada nama Profesor Kim di sana.

“Kenapa profesor belum menghubungi…?” bisiknya.

Suara peringatan darurat menggema di seluruh terminal:

Jinni menggigit bibir keras-keras. Ia tahu ia tidak punya pilihan selain mengikuti alur massa. Ia hanya membawa satu koper, syukurlah, sehingga ia bisa bergerak cepat.

Ketika ia melangkah menuju jalur evakuasi, ponselnya bergetar.

Panggilan masuk.

Nomor asing.

Namun nalurinya, atau mungkin rasa putus asa membuat Jinni langsung mengangkatnya.

“Halo?”

“Jinni,” suara seorang pria. Dalam. Tenang. “Bisakah kamu melihat bendera hijau saya lambaikan?”

Jinni menoleh mencari-cari. Di ujung jalur evakuasi, seorang pria tua berdiri sambil mengangkat bendera hijau.

“Iya… saya melihatnya.”

Lihat selengkapnya