Setelah Tae Ho menceritakan semuanya tentang Jinni yang dulu pergi ke Amerika, tentang kecelakaan mengerikan yang hampir merenggut nyawanya, tentang bagaimana nenek yang ia cintai berubah menjadi seseorang yang asing dan kelam, Juno hanya bisa menunduk, wajahnya sudah basah oleh air mata.
Setiap kata dari Tae Ho adalah seperti bilah pisau yang dihunuskan perlahan ke dadanya.
“Jinni… hidup seperti itu?” bisik Juno, hampir tak terdengar.
Tae Ho hanya mengangguk. Suaranya serak, matanya merah menahan amarah dan rasa bersalah yang ia simpan selama bertahun-tahun.
“Jinni tidak pernah curiga,” ucap Tae Ho lirih. “Dia percaya penuh pada neneknya. Dia bekerja siang malam di bawah perintah Tuan. Dia ikut semua program penelitian, semua tugas lapangan, dan semua proyek rahasia yang bahkan aku sendiri tidak diizinkan tahu seluruhnya. Dia tidak pernah mengeluh… tidak sekali pun.”
Juno mengepalkan tangannya, kukunya menancap ke telapak tangan hingga meninggalkan bekas merah.
Ia merasa dadanya seperti diremas.
“Dia mengorbankan masa mudanya,” lanjut Tae Ho, suaranya makin berat. “Mengorbankan cintanya… dan tubuhnya sendiri… hanya untuk menyembuhkan nenek yang ia pikir sakit dan tak berdaya.”
Tae Ho menatap jauh ke kejauhan, seolah melihat bayangan masa lalu.
“Dan semua itu tidak ada harganya bagi mereka,” tambahnya. “Neneknya berubah… terlalu jauh. Tersesat dalam keserakahan dan ketamakan akan kekuasaan. Mereka hanya melihat Jinni sebagai bahan penelitian. Sebagai objek. Bukan cucu. Bukan manusia.”
Juno menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya bergetar.
“Apa yang sudah kulakukan selama ini untuk Jinni…?”
Ia merasa malu. Merasa rendah.
Ia teringat bagaimana ia sering mengeluh dan menuntut perhatian Jinni. Bagaimana ia datang membawa masalah pribadi, berharap Jinni selalu menghiburnya, sementara Jinni sendiri sedang berjuang sendirian melawan dunia yang mengurungnya.
“Pertolongannya kepada ibuku… itu saja sudah lebih dari cukup,” gumam Juno lirih. “Dan aku bahkan tidak mampu membalas apa pun…”
Untuk sesaat, keduanya tenggelam dalam keheningan yang berat. Hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar, mengisi kekosongan dengan ritme yang mencekam.
Lalu, tiba-tiba Juno berdiri.
“Tidak. Aku tidak boleh bertemu Jinni dalam keadaan begini,” katanya mantap. “Tujuanku ingin mengadu… ingin bercerita soal Perwira… itu salah. Jinni tidak pantas mendengar keluhanku. Dia sudah cukup menderita.”
Tae Ho menatapnya, terkejut melihat ketegasan dalam suara Juno.
“Apa rencanamu sekarang?” tanya Tae Ho.
“Kita selidiki teror itu,” jawab Juno tanpa ragu. “Bukan untukku. Tapi agar Jinni tidak lagi hidup dibayangi ketakutan. Terornya bisa jadi ditujukan kepada neneknya… atau kepada seseorang yang berkaitan dengan masa lalu proyek itu.”
Juno lalu mengeluarkan ponsel, menghubungi seseorang.
“Siapa yang kamu telepon?” tanya Tae Ho.
“Teman lamaku,” jawab Juno, menunggu sambungan tersambung. “Seorang detektif swasta. Dia pernah menangani kasus-kasus teror serupa. Kita butuh semua bantuan yang bisa kita dapat.”
Begitu panggilan tersambung, suara berat seorang pria menjawab.
“Sudah kuduga kamu akan menghubungiku lagi,” ucap detektif itu. “Katakan, Juno. Kasus apa kali ini?”
“Kasus yang bisa mengulang masa lalu,” jawab Juno dengan suara serius. “Dan aku tidak boleh gagal lagi. Seperti dulu… ketika Jinni kecelakaan.”
Ruangan menjadi senyap.
Nama Jinni membawa beban yang tidak sedikit bagi keduanya.