Aku memekik kesakitan saat sebuah pisau dapur yang berhasil menggores pergelangan tanganku nyaris menyentuh batas arteri. Selang tak lama, aku justru tertawa keras. Rasanya puas sekali seperti seluruh beban hidupku terangkat dan tergantikan oleh kenikmatan yang tak bisa kukatakan dengan kata-kata.
Aku menjatuhkan pisau itu ke lantai, terdengar bunyi nyaring yang membuatku semakin hilang akal.
Aku mengambil pisau itu kembali, lalu menempelkannya ke lengan dan siku berkali-kali. Lagi dan lagi. Tentu saja dengan dibarengi cairan berwarna merah segar yang mengalir deras hingga mengotori keramik lantai yang kupijaki.
“Bodoh! Lu itu bodoh banget! Ngapain lu nyakitin diri sendiri? Harusnya lu sekalian mati aja, bodoh!”
“Ngapain lu terus-terusan pasang wajah senyum? Dunia ini enggak butuh senyuman lu yang seolah bahagia itu! Ngerti?” seruku sembari menunjuk-nunjuk sebuah bayangan seorang gadis dengan badan yang dipenuhi luka dan memar sedang berdiri di balik cermin yang berada di dapur.