Tubuh gadis itu melayang selama beberapa detik. Kemudian, meluncur ke bawah dan mendarat dalam satu empasan keras ke lantai semen lapangan basket yang ketika itu hanya diisi anggota ekskul basket. Seketika riuh rendah teriakan penuh semangat tim yang sedang bermain three on three terhenti. Mereka menatap penuh kengerian ke arah sang gadis yang kini terbaring dengan tubuh tertekuk.
Sang pelatih—Pak Eddie—meniup peluit, memerintahkan agar tidak ada yang mendekati sang gadis, dia juga menyuruh seseorang segera memanggil ambulans. Dengan sisa-sisa keberanian dan berbekal keterampilan pertolongan pertama, dia memeriksa nadi serta napas gadis itu. Masih ada. Pak Eddie membuka jalan napas gadis itu, sebisa mungkin tidak menggerakkan tubuhnya. Salah-salah akan terjadi cedera syaraf tulang belakang, lalu gadis itu bisa cacat permanen.
Pak Eddie melihat bordiran nama di saku seragamnya yang basah oleh darah. ANET. Tanpa sadar, dia menggumamkan nama itu. Suaranya tenggelam di balik suara-suara anak didiknya yang masih berkerumun.
Kemudian, dia lihat mata gadis itu membuka. Perlahan.
“Anet. Kamu bisa dengar saya?” panggil Pak Eddie.
Anet mengerang pelan, “Ella ....”
“Anet, tetap sadar, Nak. Sebentar lagi ambulans datang. Kamu harus bertahan, ya!” Pak Eddie terus mengajak bicara Anet, menjaganya agar tetap sadar.