Dark Memories

Noura Publishing
Chapter #3

(SATU): JEKYLL & HYDE DALAM DIRIKU

“Nah, kalo yang ini, Icha masih ingat? Kalo pecahan dibagi, berarti ...?”

“Dijadikan kali, tapi yang depannya dibalik.”

“Siiip! Pintar!”

Icha tertawa gembira, lalu mulai menulis di buku PR-nya. Aku mengelus-elus kepala berambut halus dan wangi shampo jeruk itu. Di atas ranjang besi perawatan Icha, aku membaringkan separuh badanku. Punggungku bersandar ke kepala ranjang, sedangkan Icha bersandar manja di tubuhku sambil mengerjakan PR dengan penuh semangat. Sinar matahari sore menembus jendela kamar perawatan, berkas cahayanya jatuh ke kaki-kaki kami. Sungguh sore hari yang nyaman. Rasa lelahku akibat seharian berkutat dengan pelajaran sekolah sama sekali tidak terasa lagi. Begitulah setiap aku bersama gadis kecil ini.

Aku tersenyum sendiri, mengingat pertemuan singkatku dengan Mama Icha sebelum beliau berangkat kerja shift sore tadi. Kata Mama Icha tadi, belakangan ini teman-teman Icha banyak yang minta belajar bersama di rumah karena nilai mencongak Icha selalu mendapat nilai 10.

“Mereka ingin pintar seperti Icha.” Mama Icha mengatakannya dengan mata berkaca-kaca. Dia berulang kali mengucap alhamdulillah dan berterima kasih padaku.

“Kalau bukan karena Mbak Ella,” ujarnya, “Icha tidak akan seperti ini. Icha bakal terus jadi anak pemurung, pemalu, sering bolos sekolah. Dia malu dikata-katai buntung sama teman-temannya.”

Ya Tuhan! Anak-anak memang bisa menjadi sangat kejam. Percaya deh, aku tahu. Anak-anak dengan wajah lucu dan biasa mencuri perhatian para orangtua, bisa jadi adalah anak yang paling ditakuti di antara teman-temannya.

Icha kehilangan kaki kirinya akibat jatuh dari perosotan. Tulang tungkai bawah kirinya patah. Awalnya mamanya sangka keseleo biasa. Atas saran seorang tetangga, anak bungsunya itu dibawa ke pengobatan alternatif. Entah apa yang mereka lakukan di sana, kaki Icha jadi tidak bisa bergerak. Tak lama membiru, lalu membusuk. Saat dibawa ke rumah sakit, dokter berkata kaki kiri Icha harus dipotong sebatas lutut. Icha harus menggunakan kruk sejak keluar dari rumah sakit.

Aku bertemu Icha saat aku menemani Kak Risa ke kantor redaksi majalah Dreamers. Kak Risa hendak menerima honor karena tulisannya dimuat. Aku menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak saat seorang redaksi memuji tulisan Kak Risa yang, katanya, inspiratif. Mama sudah mewanti-wanti agar aku tidak melontarkan komentar yang bisa membuat Kak Risa down. Mama tidak mau Kak Risa kabur dari rumah lagi. Namun, apa yang inspiratif dari seorang anak manja cengeng yang kabur dari rumah? Apalagi semua itu hanya gara-gara dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia bukan lagi seorang bintang? Namun lagi-lagi, kecengengan sedang trend. Terbukti dari banyaknya lagu-lagu cengeng memuakkan bermunculan.

Mereka benar-benar hanya mengejar rating. Aku mencoba maklum.

Semakin lama berada di ruang redaksi, semakin muak aku dibuatnya. Orang-orang redaksi ini begitu menyanjung Kak Risa, bahkan menawarinya menjadi pengasuh rubrik “Psikologi”. Aku ingin tertawa sekeras-kerasnya. Tahukah mereka bahwa sosok inspiratif di depan mereka itu adalah seorang munafik yang dulu sangat menikmati posisinya sebagai bintang di keluarga dan untuk mempertahankan posisi amannya itu dia tidak segan-segan menindas adiknya sendiri?

Daripada aku keceplosan menjambak topeng Kak Risa hingga membuatnya malu, aku memilih hengkang sejenak dari sana. Kak Risa tidak menyadari aku pergi, dia terlalu asyik mendengarkan sanjungan mereka. Aku yakin sebenarnya dia tahu persis semua sanjungan itu tidak pantas dia terima.

Aku pergi ke kantin. Suasana di sana sepi karena kios-kios sudah tutup. Alih-alih merasa kecewa karena tidak bisa membeli makanan atau minuman, aku justru merasa lega. Inilah yang aku butuhkan. Kesendirian. Meskipun ruangan itu berbau aneh, campuran sisa masakan dan cairan pembersih lantai, aku merasa baru saat itu benar-benar bisa bernapas dengan leluasa. Aku duduk di sebuah kursi dekat pintu masuk. Aku butuh memejamkan mata sejenak. Kubiarkan semua pikiran jahat tentang Kak Risa leluasa bermain dalam pikiranku, agar nanti saat aku bertemu dengannya lagi aku sudah bisa bersikap biasa. Bersikap biasa dalam artian menganggapnya tidak ada.

Ketika membuka mata, aku sadar bahwa aku tidak sendirian.

Kulihat ada seorang anak perempuan kecil duduk di salah satu kursi. Anak itu tidak menyadari kehadiranku di sana karena dia tengah menekuni sebuah buku yang terbuka lebar di atas meja. Apa yang sedang dia lakukan di tempat begini sendirian? Aku mengamatinya diam-diam, tertarik dengan sosoknya yang terlihat sangat rapuh dalam balutan seragam putih-merah kedodoran. Berulang kali dia menulisi buku di depannya, lalu menghapus lagi. Tak lama, dia melemparkan pensilnya ke sudut ruangan, lalu menelungkupkan wajah di atas meja. Bahunya naik-turun dan samar-samar kudengar dia terisak. Ada kruk bersandar di meja tempat dia mengerjakan PR. Otomatis pandangan mataku turun, ke arah tungkai kiri bawah yang hilang mulai dari sebatas lutut.

Siapa yang tidak iba melihat pemandangan sesedih itu? Aku bisa merasakan apa yang dirasakan gadis kecil itu. Oke, saat itu aku memang sudah menyandang status murid SMA Galileo—SMA unggulan seibu kota—dan tidak pernah mengalami kesulitan belajar. Namun, melihat gadis kecil itu, aku seperti melihat gambaran diriku sepuluh tahun lalu. Seorang anak yang sering dijuluki otak udang dan dibanding-bandingkan dengan kakaknya si murid teladan. Dulu aku mengalami kesulitan belajar karena aku sakit-sakitan dan sering absen. Aku harus menghadapi setumpuk PR, ulangan susulan, dan tugas sekolah lainnya. Membuatku merasa bagai dicakar-cakar monster hingga mati pelan-pelan.

Gadis kecil itu terus menangis, semakin lama semakin keras. Aku berjalan ke sudut ruangan, ke arah pensil gadis tadi melayang. Pensil itu sudah patah ujungnya. Kupungut, setelah itu kudekati gadis kecil itu. Aku melihat buku yang terbuka di hadapannya. Rupanya sebuah buku lembar kerja siswa, mata pelajaran Matematika.

“Hey, kamu kenapa sedih?” sapaku. “PR-nya susah banget, ya?”

Si gadis kecil mendongak, menatapku dengan mata basah dan hidung meler. Dia menarik ingusnya dan mengangguk.

Aku melirik lagi PR-nya. Aritmatika. “Kamu kelas berapa, Dik?”

“Kelas tiga ...,” lirihnya.

“Wah hebat, kelas tiga sudah belajar seperti ini. Dulu ini pelajaranku waktu kelas lima, lho!” Aku berdecak kagum. “Anak-anak SD sekarang pasti sudah jauh lebih maju, ya?”

“PR aku susah, Kak ...,” rengek gadis itu, “dan banyak banget. Gara-gara aku absen terus, PR aku menumpuk.” Dia menunjuk nomor-nomor yang dilingkari dengan pensil. Melihat soal-soalnya, aku bisa menyelesaikan semuanya dalam waktu 15 menit, tetapi aku yakin itu bukan pilihan tepat untuk menolong gadis kecil ini.

“Oke, kakak ajarin cara gampangnya, mau enggak? Biar kamu bisa cepet ngerjainnya.” Aku tersenyum lebar.

Dia menatapku seakan tidak percaya, lalu mengangguk.

“Oke, sebelumnya kita bersihkan dulu mukamu, ya?” Aku mengeluarkan tisu dari tas, lalu membersihkan wajah gadis itu. Setelah bersih, aku mulai mengajarinya cara cepat menyelesaikan soal-soal itu. Trik-trik yang aku dapat dari kursus aritmatika ketika SD dulu kuberikan padanya. Di luar dugaan, gadis itu cepat menangkap semua ajaran dariku. Dalam waktu singkat, aku hanya perlu mengawasi dan sesekali membenarkan kalau ada rumus yang tertukar, sementara si gadis kecil jadi bersemangat menjawab soal demi soal. Seakan-akan dia pendekar yang, setelah berhasil menguasai jurus pamungkas, berniat membalas dendam pada musuh-musuhnya.

“Horeee, selesaaaiii!!” Gadis kecil itu bertepuk tangan kegirangan.

Lihat selengkapnya