Ryu mengelap tangan yang basah dengan kertas tisu. Ia lemparkan gumpalan tisu di tangan ke tempat sampah. Sesaat ia menatap tampilan di cermin luas yang menempel di tembok dekat pintu keluar toilet. Jemarinya menyisir rambut hitam tebal berpotongan cepak rapi. Bingkai kacamata hitam tampak cocok dengan wajah kotak yang bersih. Kemeja biru tuanya pas di badannya yang tegap, bagian lengan digulung hingga siku. Sementara bagian bawah kemeja tidak ia selipkan ke bagian pinggang celana kanvas hitam panjang yang dikenakan. Setelah itu, kakinya yang beralaskan sepatu keds ringan melangkah keluar toilet.
“Eh, ponsel lo dari tadi getar-getar mulu,” tukas seorang pemuda berkulit pucat serta bermata sipit yang duduk berseberangan dengan kursi Ryu.
Ryu hanya mengangkat kedua alis. Ia mengusap layar ponsel dan membuka kunci. Dahinya berkerut melihat banyak notifikasi dari akun gamestagram miliknya. Pemuda itu menekuri tulisan di kolom komentar dan pesan. Seketika degup jantungnya berubah cepat. Raut wajah yang tadinya tenang berubah jadi tegang.
“Bentar. Gue mesti nelpon,” ujar Ryu cepat kepada kedua teman semejanya. Ia berdiri dan menuju ke luar dari kafe. Jarinya cepat menyalin nomer telepon dari pesan di gamestagram tadi. Hanya satu kali nada dering, panggilan Ryu diangkat oleh si pemilik nomor.
“Ryu? Ryu, ya?” suara ringan pemuda di seberang telepon terdengar bersemangat sekaligus panik.
“Ehm. Iya. Tadi maksud komen sama pesan lo…”
“Ini gue Panca. Killhya, Killhya. Kita pernah mabar waktu itu dua kali,” potong Panca cepat. “Ini gawat banget. Kana, itu, Kana…” kalimat pemuda itu terputus karena tersedak dan batuk.
Ryu menghela napas pendek. “Oke. Tenang, tenang dulu. Ngomongnya yang jelas. Pelan-pelan.”
Panca berdehem beberapa kali. “Tadi gue, Nica dan Farid lagi main game bareng Kana. Terus tiba-tiba kedengeran suara ribut sama tembakan gitu. Ini Kana bisik-bisik biar nggak ketauan pakai earpiece,” jelasnya singkat.
Ryu berdecak gusar mendengar penuturan Panca. Serasa ada seember air es disiramkan tiba-tiba ke kepalanya yang panas. Bahunya naik turun dengan cepat. “Oke. Sekarang lo pada masih nyambung sama Kana?” pemuda itu mulai terdengar cemas. Ia mengacak rambut dan duduk di tembokan pot tanaman dekat jendela kafe.
“Masih. Tadi Kana ngasih akses ke hidden cam. Tapi yang bisa akses Farid dan Nica,” jawab Panca.
Ryu diam sejenak. “Hmm, bisa gak kalo misalnya kita telepon atau video call bareng… siapa tadi?”
“Bisa. Bisa. Bentar,” jawab Panca cepat. Ada jeda beberapa saat sebelum mereka berempat akhirnya terhubung lewat panggilan video.
“Ini gue Farid alias DasMustard,” sapa suara berat seorang pemuda berwajah bulat berisi dibingkai alis tebal, kumis dan brewok pendek. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membuat matanya jadi mengecil.
Seorang pemuda lain berwajah persegi dan berpipi agak tembam dengan rambut pendek ikut menyapa. “Gue Panca. A.K.A. Killhya,” ujarnya dengan seringai lebar.
“Gue Nica. NiceNica,” ujar Nica malu-malu. Raut cemas terlihat di wajah tirus bersih gadis itu. Jemarinya tampak memilin ujung rambut lurusnya yang panjang.
“Oke. Hai,” Ryu mencoba basa-basi singkat. Karena setidaknya ketiga orang ini cukup peduli dengan keadaan Kana yang bahkan belum tentu mereka kenal dekat. “Jadi, gimana Kana sekarang?”
Farid menunjukkan layar komputer yang menampilkan situasi yang terekam kamera tersembunyi di rumah Kana. “Ini gue rekam juga. Sekalian gue unduh data rekaman dari pertama mereka dateng sama mamanya Kana,” terangnya.
“Hah? Sama mamanya Kana?” dahi Ryu tampak berkerut lebih dalam. Ia mendekatkan ponsel ke wajah karena tidak bisa melihat jelas tampilan kamera tersembunyi di layar. Satu tangannya mengeluarkan headset mini bluetooth dan menghubungkan ke ponsel. Agar percakapan mereka lebih jelas dan tidak terdengar orang lain.