Aku, ya aku Syahila. Yang gemar bercerita pengalaman hidupku kepada siapa saja yang bertanya mengenai tanganku. Jika kamu telah membaca novelku yang berjudul "Always You" pasti kamu tahu maksudku.
Banyak orang yang mengira aku adalah sosok yang terlalu ekstrovert, tidak ragu menceritakan segala hal yang terjadi pada diriku. Tapi benarkah ada orang yang benar - benar seperti itu? Tanpa mereka ketahui, aku menyimpan sejuta rahasia yang memiliki berbagai rasa, bercampur menjadi satu.
Kesal, sedih, putus asa dan rasanya ingin mati saja. Mereka tidak mengetahui hal itu bukan? Rasa dimana aku sudah tidak dapat melakukan apapun, hanya menyisakan harapan fatamorgana.
Saat aku kecelakaan, yaitu saat kepalaku ketiban kelapa dan sempat koma beberapa hari. Dokter menyarankan kepada orang tuaku untuk melakukan proses euthanasia.
Bagi yang tidak mengetahui euthanasia itu adalah suntik mati. Mungkin pada saat itu, pertimbangan dokter adalah biaya pengobatan yang sangat mahal. Apalagi orang tuaku bukanlah orang yang berada. Yang pasti itu akan sangat mempersulit keuangan orang tuaku.
Jujur, aku tidak ingat akan hal itu, mungkin karena saat itu aku masih berusia dua tahun. Atau bisa jadi karena aku sendiri tak mengizinkan aku mengingatnya, ntahlah.
Pasca tragedi itu terjadi, tragedi yang telah mengubah seluruh hidupku bahkan keluargaku dalam sekejap. Dimana aku harus menerima kenyataan bahwa aku harus hidup dengan satu tangan, meski memiliki dua tangan.
Tragedi yang mengharuskan diriku selalu bolak balik masuk rumah sakit, serta minum obat - obatan. Dan yang paling menyebalkan adalah saat aku benar-benar menjadi beban keluarga. Karena biaya pengobatan yang jauh dari kata murah.
Meski aku tahu, tak ada orang tua yang merasa keberatan untuk kebaikan anaknya. Tapi tetap saja, sebagai anak pasti itu menjadi beban tersendiri mengetahui orang tuanya sampai mengabaikan kebahagiaannya.
Mungkin jika bukan karena aku kecelakaan, mereka akan mempunyai kehidupan yang lebih sejahtera dari sekarang.
Aku sedikit menyayangkan keputusan orang tuaku saat dokter menyarankan pada mereka untuk melakukan euthanasia (suntik mati) terhadapku, tapi tak dilakukannya.
Padahal, bisa saja itu adalah tindakan terbaik untuk semuanya. Aku pun percaya kepada penawaran dokter saat itu karena memang pada saat itu, aku sudah tidak menunjukan tanda - tanda kehidupan. Lalu, untuk apa dipertahankan?
Saat itu dokter pasti sudah memikirkan matang - matang sebelum berbicara kepada orang tuaku. Bahwa dirinya sudah menggunakan berbagai cara, berusaha membuatku sadar, atau hanya sekedar menunjukkan tanda - tanda kehidupan. Tapi hasilnya nihil.
Terlebih lagi, biaya rumah sakit yang terus membengkak menjadikan dokter memberikan opsi yang menurutnya, adalah opsi terbaik kala itu.