Ibuku pingsan, disampingnya ada adik laki - lakiku yang sedang menangis. Melihat itu aku langsung membangunkan ayahku yang sedang tidur.
Disaat yang bersamaan, aku sudah melihat tetangga membopong ibuku masuk rumah. Adik bungsuku yang masih bayi itu pun menangis keras. Mungkin karena terkejut akibat ibuku pingsan, sedangkan dia berada dalam gendongannya.
Beruntungnya, saat ibuku pingsan, adik bungsuku tidak terlepas dari gendongan ibuku, sehingga dia jatuh di tepat di atas ibuku.
Melihat adik laki lakiku yang masih menangis dan di kerubungi tetangga, ayahku mendekat yang saat itu baru bangun tidur. Lalu para tetangga langsung meminta ayahku untuk membawanya ke rumah sakit terdekat.
Para tetangga juga menghentikan motor yang sedang di depan rumah memintanya agar mengantar ayahku ke rumah sakit. Dengan buru - buru ayah langsung menggendong adik laki - lakiku dan menaiki motor, bahkan tanpa alas kaki.
Disaat yang bersamaan, ibuku masih dalam keadaan pingsan. Aku yang melihat itu semua hanya terdiam, bingung harus berbuat apa.
Aku terus memberikan minyak angin ke arah hidung ibuku, berharap ibuku sadar. Dan adik bungsuku yang masih menangis, serta para tetangga mencoba mendiamkannya.
Setelah ibuku sadar, ibuku langsung menangis tersedu - sedu. Tetanggaku memberikannya minum, tapi ditolaknya.
Ibuku terus menangis, dan aku dapat merasakan itu adalah tangisan keputus asaan. Disela - sela tangisannya, ibuku berkali - kali berkata:
"Kakak .... Mamah tuh salah apa ya? Mamah tuh punya dosa apa? Kok cobaan gak berhenti - berhenti?" Aku hanya diam, mendengarkan sambil menahan tangis.
"Kakak tahu? Tadi mamah melihat tangan kiri adikmu patah, tangan kanan kamu saja belum normal, masa iya sekarang tangan kiri adikmu? Lengkap sudah, mamah punya salah apa sih kak? Coba jawab?" Ucap ibuku ditengah tangisnya.