Gadis bergaun putih tersebut berlari dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Wajahnya tampak pias. Berulang kali dia menoleh ke belakang dengan sorot mata panik bercampur ketakutan. Hal itu justru membuat langkahnya tersandung oleh batu berukuran sedang yang berada di tengah jalan berbatu yang sepi tersebut. Ia terhuyung dan jatuh telungkup. Siku dan mata kakinya tergores dan mengeluarkan darah. Meski begitu dia tetap berusaha bangkit berdiri sambil menahan sakit.
'Aku akan mati jika tetap di sini,' ucapnya dalam hati. Namun upayanya sia-sia saja saat sosok tersebut berdiri di belakangnya. Menjambak rambutnya sambil menyeret pergi. Jerit kesakitan gadis itu justru memunculkan seringai senang di wajahnya.
***
Lukas terbangun dari tidurnya. Matanya terbuka lebar. Nyalang menatap langit kamar yang tidak terlalu tinggi dan bercat putih. Nafasnya terengah tidak teratur. Jantungnya juga berdegup keras. Begitu pula keringat dingin yang membanjir. Setelah diam beberapa saat dia segera bangun dari tidurnya. Bergegas bangkit berdiri dan melangkah menuju meja kecil yang berada di samping tempat tidur untuk mengambil segelas air.
Tangannya menggenggam erat pinggiran meja. Kepalanya terasa pusing. Perlahan diulurkan tangan yang gemetar mengambil gelas. Namun gelas itu justru terlepas dari genggaman dan pecah berkeping di lantai. Lukas melangkah mundur dengan kaki terluka dan membekap telinga erat-erat. Jerit kesakitan seorang gadis yang membahana dalam mimpi kembali terngiang jelas.
Sudah cukup lama Lukas memiliki kemampuan melihat kematian dalam mimpinya. Dalam alam mimpi tersebut, dia adalah sosok si pembunuh. Lukas tidak tahu yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dia hanya ingin menghindar dan menghilangkan mimpi buruk tersebut. Namun semua itu tidak mudah karena mimpi itu sebenarnya adalah nyata.
***
Ariana belum pula tertidur meski malam telah larut. Sosok gadis dengan gaun putih berbercak darah kini berada tepat di hadapannya. Wajah pucat seputih kertas dengan tatapan mata penuh kesedihan itu membuatnya merasa terganggu. Ariana tidak pernah menyukai kemampuan melihat para makhluk tidak kasat mata yang dia miliki. Baginya semua itu bukan anugerah, melainkan keburukan dalam hidupnya. Dia tidak pernah memiliki sahabat seeorangpun. Hidupnya hanya dihabiskan dalam kesepian.
Orang-orang menjauh darinya dan menganggap dia aneh. Waktu kecil para orang tua selalu melarang anak-anaknya bergaul dengannya karena ia terus saja melihat mereka yang tidak terlihat.
"To-long a-ku," pinta sosok tersebut dengan suara lemah. Ariana menggeleng. Dia sudah terlalu lelah hidup seperti ini. Para makhluk halus itu selalu menemui dirinya dan meminta bantuan.
"Tolong aku, kumohon," pinta sosok itu lagi dengan suara serak.
Hati Ariana sejenak tersentuh. Hatinya melemah saat mendengar permintaan itu. Dia bukanlah gadis yang tidak punya perasaan dan berhati batu. Namun tetap saja Ariana menguatkan diri dan menggeleng.
"Aku tidak bisa membantumu," ucapnya pelan.
"Aku juga tidak mau bernasib seperti ini. Mereka tidak tahu apa-apa. Orang yang tidak bersalah akan ditangkap dan dicap sebagai pembunuh. Mereka tidak pernah tahu sosok iblis di balik itu."
"Aku tidak peduli dengan semua itu."