“Kalau saja kisah hidupku semenarik kisah perempuan ini,” pikirku berangan – angan. “Pasti mudah ya membuat cerita dari kehidupan sendiri,” gumamku dalam hati. Sejenak aku mengambil napas dan berpikir. Setengah bulan sudah berlalu dan waktuku tinggal setengah bulan lagi sebelum jatuh tempo. “Lebih baik ada satu cerita daripada tidak,” pikirku meyakinkan diri. Di depan laptopku, kutegakkan badan dan sedikit membusungkan dada. Bahu mengarah ke belakang sedikit santai dan mata fokus melihat layar. Satu per satu kata kurangkai dan diriku mulai terhanyut dalam cerita yang kubuat, tahun dua ribu delapan belas, ketika usiaku lima belas tahun.
“Pergi sana! Aku muak melihat tingkahmu!” bentak pemilik toko roti itu padaku. “Kalau gak bisa kerja, mending gak usah. Bikin toko saya rugi tahu!” lanjutnya lagi seraya melampiaskan emosinya yang terpendam. Aku hanya bisa menunduk sambil berjalan mundur ke belakang. Menahan rasa malu untuk keenam kalinya diusir seperti ini. Di saat – saat seperti inilah aku merasa bak seorang artis. Ratusan orang serentak meninggalkan pekerjaannya dan memberi perhatian hanya untuk diriku seorang. Bahkan tidak sedikit juga yang cepat tanggap untuk mengabadikan momenku ini.
“Ah, lagi – lagi aku dipecat,” ujar batinku seraya berjalan pergi. Entah kemana aku akan pergi, yang pasti aku tak bisa kembali pulang dengan tangan hampa. Apa yang akan kuberikan untuk Roby saat pulang nanti? Sudah dua hari ini kami hanya makan sepotong kue yang kuambil diam – diam dari toko roti itu. “Hari ini makan apa ya?” Lamunku sembari terus berjalan menyusuri trotoar. Lamunanku buyar ketika kudengar sayup – sayup suara memanggil namaku. “Lisa!” teriak salah seorang lelaki dari kejauhan. Aku memalingkan pandangan pada arah suara itu. Mukanya tampak tak asing, tapi siapa? Mengapa orang itu terlihat putih sekali?
“Lisa! Bangun!” teriak seseorang sambil mengguncang – guncangkan tubuhku. Perlahan kukedipkan mataku. Semua yang terlihat samar lama – kelaman menjadi jelas. Aku melihat wajah lelaki itu, ”Gary?” tanyaku masih setengah sadar. “Ya, ini gue. Minumlah dulu. Sudah lama gak bertemu, eh pas ketemu lo malah pingsan.” Ujarnya berusaha menenangkan suasana. Segera kuminum air itu tanpa basa – basi. Empat gelas berisi air penuh kuhabiskan. “Ah,segarnya.” Gumamku sembari tersenyum bahagia seakan mendapat sebongkah emas. “Lo napa Lis? Gak kayak biasanya. Ngomongnya juga gak gue – lo lagi.” Tanyanya sembari membuat semangkuk ramen di hadapanku. Tak kugubris pertanyaannya. Mataku hanya tertuju pada ramen yang sedang ia buat. Bibir ini terasa kering sekali. Ingin rasanya kumakan habis ramen itu dan membasahi bibirku dengan kuahnya yang gurih.
“Lo mau ini?” tanya Gary yang langsung kujawab dengan anggukan. Air mukanya seketika berubah. Wajahnya seakan mengatakan bahwa aku sudah gila. Namun dalam ekspresinya tersirat pertanyaan yang malu untuk kujawab. “Lo mau ini? Boleh, asal lo cerita ke gue apa yang terjadi sama lo.” Ucapnya seraya menyuguhkan mangkuk ramen itu dengan hati – hati. Tak peduli apapun yang Gary minta, aku hanya mengangguk. Berharap ramen itu cepat mengisi perut yang terus mengaum. “Enak? Jadi bagaimana? Cerita sekarang kan?” tanya Gary sambil memandangku penuh rasa ingin tahu. Aku memandangnya balik seraya menyeruput mie yang terakhir.