Selesainya kami menata barang – barang dari dus, Gary memberiku sebuah celemek bertulisakan namaku di kiri atas dan tulisan “Bar Exquisite” di kanannya. “Lo datang bareng Jane ya. Gue ada urusan lain. Sampai jumpa di sana.” Ujar Gary seraya melambaikan tangan pada kami. Awalnya kukira tanpa Gary suasana akan sedikit canggung,namun nyatanya tak seperti dugaanku. “So, lo siapa? Bagaimana bisa kenal sama Gary? Kita belum benar – benar kenal lho. Aku penasaran dengan dirimu.” Tanya Jane santai sambil berguling di atas kasur baruku.
“Ah, gak juga. Aku sering mampir ke bar Gary aja kok.” Balasku seraya bangkit dan mengikuti Jane berguling di atas kasur. “Lo ngomong aku – kamu lagi tuh,” sahut Jane yang diikuti tawaku. Sebetulnya sedikit pun tak kurasakan perubahan dalam diriku. Namun kalau ada, mungkin karena semua hal yang terjadi belakangan ini sedikit banyaknya telah mengubah kepribadianku. “Lo mau cerita apa gak? Gue pingin lebih kenal lo.” Pinta Jane sedikit memaksa.
Aku mulai menceritakan kisah yang kualami beberapa hari yang lalu. Kisah tentang kebangkrutan orang tuaku dan kehidupan menyedihkan yang harus kujalani sejak hari itu. Tentunya tak lupa kuceritakan tentang pertemuanku dengan Gary hingga akhirnya aku ditawari pekerjaan olehnya. Semua kujelaskan terperinci. Kali ini aku tak merasa malu. Diriku sangat yakin bahwa Jane orang yang dapat dipercaya.
“Oh, begitu,” Air muka Jane berubah. Ia seakan mengerti kondisiku. “Ah, sekarang sudah tak apa kok.” Ujarku berusaha menjaga suasana agar tak larut dalam kesedihan. “Gue tau lo bakal ngomong gitu, dan lo pasti bohong. Gue pingin bantu lo. Ada yang lo butuhin?” seru Jane seperti jin yang akan mengabulkan apapun permintaanku.
Sebetulnya ada yang sangat kuinginkan. Walau sekarang aku punya keluarga baru, tapi tetap saja aku kangen sekali dengan kedua orang tuaku. Aku bahkan belum sempat melihat mereka untuk terakhir kali. “Ada sih. Gue kangen banget sama ortu gue. Mungkin, lo bisa bantu gue mencari keberadaan mereka?” pintaku. “Okidoki! Gampang itu mah. Gue tahu rasanya berpisah dengan orang yang lu sayang. Orang tua gue udah gak ada. Hanya Koko yang tersisa. Dia sekarang belajar di luar negeri. Terkadang gue juga ngerasa sepi tanpa Koko.” Cerita Jane sekilas tentang keluarganya. “Tapi Koko gue mau datang minggu ini. Entah kapan.” Lanjutnya lagi sembari tersenyum riang.
Aku ikut senang mendengarnya. Semoga suatu hari nanti aku dapat kembali bertemu dengan orang tuaku seperti Jane bertemu dengan Kokonya. Lama kami berbincang tentang masing – masing diri kami. Saling bertukar pikiran dan kebahagiaan. Padahal baru sehari mengenal Jane, tapi rasanya seperti sudah lama mengenal. Ada rasa keakraban diantara kami.
“Ngomong – ngomong udah jam sepuluh nih. Yuk capcus. Lo harus jadi model kan?” ujar Jane seraya mengambil barang – barang miliknya yang tergeletak ke dalam tas. Aku mengangguk. Keraguan mulai mendatangiku. Apakah aku bisa? Kalau tidak, bagaimana ya? Mungkinkah Gary memecatku nanti? Hatiku sungguh gelisah. Bahkan, belum kami berangkat pun jantungku sudah berdegup kencang.
Selagi Jane mempersiapkan motornya, aku mempersiapkan diri. Jane awalnya memberiku kesempatan untuk mengendarai motor. Namun,aku sama sekali belum pernah mengendarai mesin beroda dua itu. Sebentar Jane mengajariku sebelum kami pergi,namun sepertinya caraku mengendarai sungguh parah. Demi keselamatan, akhirnya Jane saja yang mengendarai. “Lain kali aku harus belajar mengendarai motor sendiri,” ucap batinku. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan, kadang – kadang Jane memberiku nasihat tentang cara mengendarai motor. Aku mendengarkan namun tak dapat kupahami. “Kurasa aku lebih butuh banyak praktik, hehehe.” Pikirku.