Kota, memiliki berbagai macam tempat yang mempunyai masing-masing nama. Fiora bertempat tinggal di Jalan Merdeka, samping jalan kecil yang dilalui beberapa kendaraan, dekat taman anak-anak berbukit rendah. Suhu udara masih terasa lebih dingin, karena belum tertampaknya sang matahari. Menarik napas sebentar, Ravin melanjutkan pertanyaan yang membuatnya penasaran. "O-oke Fiora, nama aku Ravin Cakrawala. Terus, apa itu rambut?" Ravin dua belas tahun itu terdengar benar-benar bertanya. Ia seolah murni, diliputi rasa penasaran besar. Fiora mengangguk sebagai jawaban.
"Nah, ayo main sama aku di luar." Ia mengajak, membuat Fiora tersenyum ceria, menyadari satu kenyataan, senyum gadis itu memudar sedih.
"Nggak boleh."
"Hmm?"
"Aku nggak boleh main ke luar, Ravin." Fiora menjawab, irisnya meredup, membayangkan ketika bibinya tahu, bahwa dirinya membiarkan orang asing masuk ke dalam kamar. Fiora bukan hanya dipukul, ia juga tidak akan diberi jatah makanan. Fiora bukanlah anak kuat yang bisa bertahan, akan semua sikap yang diberikan Istari untuknya. Sebisa mungkin, Fiora memilih menghindar, menjauhi masalah, dan menuruti ucapan wanita berambut sebahu itu.
"Kenapa?"
Fiora memindahkan Pascal dari tangannya ke lantai, netra coklatnya sekilas berkilat, namun, dengan cepat Fiora menyembunyikan ekspresi sedih. Bagi gadis itu sendiri, memberitahu masalah Istari bukanlah perbuatan baik. Meski, Istari sering kali memperlakukan Fiora dengan buruk, bukan berarti, Fiora bisa menutupi fakta bahwa, bibinya-lah yang sudah merawat dan mengurusinya sejak kecil.
Fiora memeluk lutut, membiarkan keheningan menyelimuti suasana mereka. Mengambil napas sebentar, Fiora mengangkat kepala, tepat saat itu, iris mereka saling menubruk. "Apa kita bisa hindari pertanyaan kayak gitu?" Ada nada parau yang terselip di sana. "Kalau kamu? Kenapa ingin sekali main sama aku?"
"Aa," Ravin mengangguk, lalu menjawab jenaka, ketika suasana mulai berubah kaku. "Aku seneng sama perempuan cantik." Singkat, padat juga polos, Ravin mengumbar senyum. Fiora mengangguk mengerti, entah dirinya harus bangga, atau tidak, dengan pujian tak langsung yang dilontarkan Ravin. Ahh, mungkin, Fiora harus mengingat, bahwa lelaki dua belas tahun di depannya ini, bisa jadi merupakan lelaki yang akan tumbuh, menjadi lelaki penggombal di masa depan. Tak sengaja melirik jam dinding, Fiora menyorot tidak enak. Pukul enam kurang sepuluh menit, sisi teratas matahari mulai muncul di bagian timur memberi pancaran rona kemerahan, menandakan pagi telah tiba. Suhu ruangan berubah menjadi lebih hangat.
"Aku harus sekolah, Ravin."
Ravin melepas sapuannya pada punggung Pascal, ia menjawab, "terus?"
"Kamu harus pergi, guru aku nanti dateng. Kalau dia tahu kamu di sini, dia pasti mengadu pada Bibi." Benar, guru privat Fiora merupakan suruhan Istari, agar memberi tahu mengenai tumbuh kembang gadis berambut hitam itu dalam hal belajar, termasuk, saat Fiora melakukan hal aneh: membiarkan orang lain masuk, misalnya.