Mereka berdua berjalan ke arah bukit berpasir yang mengarah ke taman bermain. Terlihat sederhana, namun, bagi Fiora sendiri, bisa merasakan kehidupan luar, yang mampu membuat suasana hatinya membaik, hanya dengan udara segar, hal itu sudah lebih daripada cukup. Ahh, Fiora takkan melupakan ini. Gadis itu bersumpah, ia tak pernah menyesal telah melakukan pelanggaran penuh resiko ini. Langit berbintang, disertai semilir malam menenangkan, sorot hangat timbul di kedua netra coklat Fiora. Ia bisa merasakan tekstur butiran-butiran kecil pasir mengenai kulitnya. Menengadah, menatap satu per satu bintang seolah bisa digapai oleh kedua tangan. Ravin duduk di samping gadis itu, menaruh Pascal di lutut tertekuknya.
"Jadi?" Ravin bertanya, rambut anak itu tertiup angin segar, irisnya memandang Fiora lekat. Fiora menorehkan senyum. "A... aku... aku nggak pernah nyangka, kalau ngelihat benda bersinar itu, bisa seindah ini." Lalu perlahan, kelopak mata Fiora basah dengan perasaan membuncah begitu saja. Sahutan Ravin terdengar pecah. "Namanya bukan benda bersinar, tapi, bintang." Fiora menoleh, menatap lelaki beriris hitam itu, mengangguk mengerti.
"Aa, seumur hidup, aku baru pertama kali ngeliat ini, ngerasain kayak gini, sampe-sampe aku takut kalau...." Fiora terdiam tanpa mengalihkan pandangannya dari langit, sesaat ketika air matanya turun, gadis itu dengan cepat mengusapnya kasar. Keheningan menyelimuti mereka berdua. "Makasih Ravin." Fiora berujar pelan, yang mampu menggerakkan kepala Ravin menoleh ke arahnya bulat-bulat. Setidaknya gadis itu, bisa merasakan kebahagian walau hanya sedikit. Fiora dapat merasakan hal asing bersama Ravin, rongga dadanya merasakan perasaan hangat, sentruman listrik ringan menyertai perut, menimbulkan rasa geli dalam artian baik. Mendadak kilasan bayangan acak memasuki memori Fiora, gambaran-gambaran ketika Istari menyiksa pelan-pelan fisik, dan mental si gadis, membuat Fiora ketakutan setengah mati. Sorotnya menyendu.
"Kalau kamu makasih, seharusnya wajah kamu nggak begitu." Ravin memecah keheningan. Fiora tertegun. Ravin terlihat memainkan bunglon hijau itu, di punggung tangan. Fiora menyadari, Ravin merupakan anak penyuka hewan. Lelaki itu membuka suara, berceloteh lebar. "Kalau kamu sebegitu senengnya main sama aku, aku bakalan dateng lagi. Ngajak kamu jalan-jalan lagi. Ngasih tahu kamu semua hal hebat sampe bikin kamu bahagia bisa main sama aku." Ahh, bagaimana mungkin Ravin terlihat bersinar seperti ini, setelah mengatakan hal menyenangkan sepanjang itu? Sadar atau tidak, sorot Fiora melembut.
"Jangan sedih, kalau sama aku, kamu nggak boleh nangis, kata Mami, nangis cuma buat anak cengeng." Kepolosan lelaki itu kembali terdengar, Fiora tersenyum. "Kalau gitu... kapan-kapan ajak aku ketemu Mami kamu, ya."
Ravin mengangguk. "Mami pasti seneng liat perempuan cantik." Ravin menaruh Pascal ke tempat lututnya terlipat, merasa lelah sudah bermain dengan si hewan reptil. "Fi," panggil Ravin yang disahuti gumaman. "Pipi kamu dipukul lagi?" Netra Fiora membulat mendengar pertanyaan Ravin, yang mengetahui pukulan baru dari bibinya tersebut. Tidak bisa menceritakannya, Fiora memilih tak menjawab. Mereka kembali diselimuti keheningan canggung.
"Rav." Selang beberapa menit, Fiora membuka suara. Ravin bergumam. "Sepenasaran apa pun kamu sama luka-luka aku yang udah kamu lihat. Aku nggak ngizinin kamu buat nanya hal itu. Oke?" Terdengar helaan napas dari Ravin, meski terlihat enggan, lelaki itu tetap mengangguk menyetujui."Oke."
"Rav." Fiora memanggil lirih.
"Hm?"