Darkpunzel

Art Fadilah
Chapter #5

05. Lembaran Baru Fiora

Ada sebuah kehidupan baru, yang patut disyukuri, bagi orang-orang, menjadi murid sekolah umum, bukanlah, suatu hal mewah, hingga, dapat membuatmu bahagia, layaknya, baru saja mendapatkan hadiah kesukaan. Tetapi, bagi Fiora, menjadi murid sekolah umum, adalah, hadiah terindah seperti sebuah hal mewah yang patut disyukuri adanya.

Fiora berjalan memasuki ruang bertuliskan sebelas MIPA dua, seusai guru mengenalkan dirinya sebagai wali kelas itu, menyebut dirinya, untuk memperkenalkan diri. Rambut Fiora terkepang satu, dengan, panjang mencapai tulang ekor, tertiup udara segar pagi. Netra coklatnya, menatap, satu demi satu, teman-teman sekelas, yang, memperhatikan sikap Fiora di depan. Fiora tersenyum disertai semburat merah samar di pipi, memperkenalkan diri, asal, juga ucapan permohonan untuk mau berteman dengannya. Lalu, segalanya terasa menyenangkan bagi Fiora.

Tepat kemarin, setelah Fiora berhasil dibawa ke rumah utama Kusuma, oleh sang oma, Fiora diberi pakaian baru berwarna cerah, juga diobati semua luka yang ada di tubuhnya. Ada perasaan hangat yang mengalir di dalam benak Fiora, nyaris, selalu merasa asing, oleh perlakuan lembut Erina. Rambutnya, ditata sedemikian rapih, kulitnya diberikan perawatan khusus, agar, bekas luka si gadis menghilang, dan wajahnya dikecup sayang penuh pengertian. Fiora tak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ibu. Akan tetapi, bersama Erina, Fiora percaya bahwa semua sikap kelembutan neneknya itu, mirip seperti kedua tangan sesosok ibu ketika merawat anak.

Selanjutnya, Fiora malah menangis terisak, ia segera menutupi wajah, karena, merasa dirinya, bersikap terlalu berlebihan. Namun yang terjadi setelahnya, Erina menyentuh kedua telapak tangan Fiora, mencoba untuk membuka dan melihat ekspresi haru yang tercetak jelas di sana. Ia berujar menenangkan. "Oma bakalan nyoba hapus semua kenangan buruk yang udah Tari kasih ke kamu, ngasih hal-hal indah sampai kamu lupa kalau kamu pernah disiksa. Maka dari itu...." Jeda, Erina memeluk tubuh Fiora kuat, "Nggak papa kalau kamu mau nangis, itu bukan sikap yang buruk. Oma nggak masalah jadi tempat untuk nyeritain semua hal-hal sedih di benak kamu." Dan perkataan itu sudah lebih dari cukup. Sangat cukup, sehingga menumbuhkan perasaan dicintai, yang membuat Fiora merasa dirinya berharga telah lahir di dunia.

Fiora mengikuti perintah guru, melangkah menuju kursi nomor urut tiga di barisan dekat jendela, yang mengarah, ke kebun belakang. Fiora duduk bersama gadis berkepang dua, dengan, kacamata minus. Pelajaran pertama ialah matematika minat. Fiora membuka tas, dan mengambil buku tulis, untuk mencatat penjelasan guru perempuan, yang mengaku wali kelasnya barusan.

Ahh, mungkin perlu sedikit penjelasan, mengenai, tempat dan sekolah Fiora kali ini. Rumah utama yang dimaksud Fiora untuk ditinggali bersama oma-nya, ialah, rumah yang berada di Desa Jangkar dekat perbatasan kota. Tempat yang biasa ditinggali Erina seorang diri menghabiskan sisa umurnya. Karena, sekolah ini pun terletak lebih mencondong ke desa, membuat sekolah ini, tidak terlalu dikenal orang kota, sekolah yang masih kumuh fasilitasnya, beserta guru, yang, tidak sebanyak sekolah kota pada umumnya.

Fiora menulis tanggal di atas sebelah kanan, pandangannya menerawang, ia tertegun oleh memori, yang, menariknya, mengingat, ketika semalam Istari mengetuk paksa rumah Erina begitu gaduh. Fiora saat itu terbangun paksa, mendengar pertengkaran, yang, dikeluarkan, Istari dan Erina. Ia memilih mengintip di balik kamar.

Istari berteriak, memarahi Erina, akibat, sikap yang seenaknya mengambil hak asuh Fiora. Pertingkaian memanas, setelah, Erina menampar Istari, kemudian, meninggikan suara sama besarnya untuk mempertanyakan mengapa Istari dengan tega menyakiti keponakannya sendiri.

Fiora menggigit bibir, iris coklat gadis enam belas tahun itu, terpaku, menyaksikan bagaimana Istari menangis, mengucapkan, bahwa, penyebab kematian Lina, ialah, adanya Fiora di dalam kandungan kakaknya. Istari mengungkit masa lalu, menceritakan betapa brengseknya Fairuz memperlakukan Lina semena-mena, lalu, menyalahkan Erina, sebab, sudah melakukan perjodohan, isakkan demi isakkan terdengar di bibir Istari, wanita berambut sebahu itu, mengepal kedua tangan menyalurkan semua kekalutannya.

Betapa gelisah dan resahnya Fiora, hingga menyebabkan keterbungkaman, tubuhnya bergeming. Tidak sesuai dugaan, Erina berujar berkebalikkan, dengan, perkiraan Fiora, dirinya malah mengatakan, bahwa, Fiora merupakan berkat dari Tuhan yang khusus dikirim untuk keluarga Kusuma, melalui, rahim Lina Salsika. Napas Fiora tersendat, ia menelan saliva. Tanpa sadar irisnya telah basah oleh air mata. Ia dapat melihat kekalahan perdebatan Istari, dan, pergi dari sana, dengan, wajah tidak percaya oleh pernyataan Erina yang barusan terdengar. Fiora benar-benar dicintai dengan tulus....

"Hei." Fiora mengerjap, lamunannya hilang, tergantikan suasana hening kelas, yang sedang, mendengarkan guru menjelaskan materi. Fiora menoleh, mendapatkan teman sebangkunya, berusaha, memanggil dirinya berulang kali. Fiora menyahut, "Apa?"

Gadis berkacamata itu, memiliki iris hitam, bentuk wajah mungil terbingkai poni, dan, beberapa helaian di kedua sisi telinga. Ia berujar ragu. "Aku kehabisan tinta pulpen, boleh pinjem punya kamu?" Oh pulpen, Fiora mengangguk, mengambil tempat pensil pemberian neneknya, lalu, memberikan alat tulis yang diminta. "Um, nama kamu?" Dia kembali bertanya, membuat Fiora menoleh kedua kali. Ingatan lama terkenang, di mana seorang lelaki juga pernah menanyai nama Fiora.

Fiora menorehkan senyum simpul. "Tadi di depan 'kan udah." Fiora dapat melihat keterkejutan teman barunya yang seakan malu. Ia memalingkan pandangan, namun tetap berucap, "Oh iya ya?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri. Fiora tersenyum geli, merasa kasihan jika terus mempermainkan teman barunya, Fiora menjawab, "Fiora, kamu?" Dan Fiora baru tahu bahwa teman sebangkunya bernama, "Juni Astina," jawabnya membalas senyum Fiora hingga terlihat manis.

Fiora melanjutkan kegiatan tertunda: mencatat. Ia mengerutkan kening, saat, merasa, beberapa angka dan tulisan tak terbaca di papan tulis, sehingga, membuatnya harus memincingkan mata, lalu kembali, menggerakkan jemarinya menyalin. Ternyata, tidak buruk juga bersekolah umum seperti ini, pikir gadis berambut hitam terkepang satu itu.

Lihat selengkapnya