Fiora menggigit jemari telunjuknya resah, kekhawatiran berlebih memenuhi pikiran Fiora, hingga terasa mencekik sistem pernapasan. Tubuh Fiora terliputi rasa cemas, kening gadis itu berkerut was-was. Dengan penuh kekalutan Fiora tidak tidur dari jam tiga, sampai, lima pagi, merawat oma-nya yang tiba-tiba terserang demam. Kedua tangan Fiora kembali mengganti handuk kecil dari kening Erina lagi.
Semalam maupun kemarin-kemarin, Erina masih terlihat baik-baik saja, Fiora pulang ke rumah, disambut penuh suka cita, dimasakkan berbagai olahan makanan yang tidak pernah Fiora rasakan sebelumnya. Tepat ketika jam memasuki pukul tiga pagi, saat Fiora menginginkan untuk mengambil air mineral menuntaskan rasa haus, rintihan Erina terdengar. Apa yang paling buruk dari kesendirian? Kehilangan seseorang yang amat dicintai.
Dan Fiora tidak mau kehilangan satu-satunya orang yang sudah, menumbuhkan, rasa percaya diri dalam benak Fiora hingga disayangi sampai sedemikian rupa. Oma tidak akan pernah meninggalkannya, oma tidak akan pernah meninggalkannya. Terus seperti itu benak Fiora berbicara, layaknya sebuah mantra ampuh untuk mengobati perasaan tidak tenangnya.
Erina terlihat sudah tua, kulit berkeriput, rambut putih, juga tenaga yang tak terlalu kuat. Bagaimana jika Erina benar-benar meninggalkan Fiora? Fiora mengusap air matanya kelewat cepat, membiarkan rasa nyeri ringan di kelopak, ketika, gadis itu menghapusnya kasar. Jika Erina benar-benar meninggalkan Fiora, titik terang Fiora akan pergi, harapan gadis itu akan sekarat lalu berubah menjadi keputusasaan. Fiora akan patah.
Gadis berambut hitam panjang itu kembali mengganti handuk Erina, berposisi duduk di samping ranjang, tanpa mempedulikan kram dan kesemutan di kedua kaki. Netra coklat Fiora tak pernah beralih dari objek sang oma, seolah jika Fiora berpaling beberapa detik saja, Erina akan tiba-tiba pergi, menghilang, bahkan mati meninggalkan Fiora dengan segala mimpi buruk yang ada.
"Fi."
Iris Fiora membulat, ia segera menggenggam telapak tangan Erina kuat-kuat. Oma tidak akan pernah meninggalkannya. Suara hati Fiora mengulang kata sama. Tubuhnya bergetar. "Oma... Oma nggak papa?" desak Fiora kacau. Air mata menetes, mengalir melalui sudut kelopak membasahi pipi dan berakhir jatuh.
Kerutan Erina semakin tercetak jelas, ketika perempuan tersebut menorehkan senyum kecil menenangkan. Bagaimana mungkin saat sedang demam begini, oma-nya masih memaksa tersenyum? Erina berujar lirih, "Kamu... nggak... sekolah?" Bahkan neneknya tersebut masih saja mengkhawatirkan pendidikan si cucu.
Fiora menggeleng, membalas parau, "A-aku nggak mau sekolah." Isakkan kecil Fiora terdengar. "Aku nggak mau sekolah, Oma."
Erina menyorot lembut, ia berusaha menggerakkan tangan untuk menghapus air di pipi si cucu, walau terasa sulit, Erina tetap mencoba melakukannya, meski dengan sentuhan lemah. "Oma udah nggak papa. Kamu harus sekolah, Fi." Fiora menggeleng, Erina segera menyela. "Tolong, Oma mau kamu sekolah." Senyum Erina terbentuk tulus, ia melanjutkan, "Tolong ya bunga-nya Oma."
Fiora sesegukkan, dia bilang Fiora adalah bunga. Tangis Fiora pecah. Gadis beriris coklat itu mengerang, "Uhh," Ia menelan saliva. "Oma... beneran nggak papa?" Erina mengangguk menanggapi, pertanyaan yang sama, diajukan Fiora.
Tak ada pilihan lain, akhirnya Fiora menyetujui permintaan neneknya tersebut, cepat-cepat membersihkan diri, berpakaian dan bersiap kilat di kamar Erina, karena, masih merasa harus mengawasi neneknya itu. Rumah Erina cukup dikatakan besar jika hanya ditinggali dua orang. Tiap kamar memiliki kamar mandinya sendiri, termasuk kamar sang oma.
Sesaat ketika Fiora berusaha menyisir rambut, Erina memanggil. "Fi, sini, Oma yang nata rambut kamu." Fiora menggeleng, tidak ingin merepotkan. "Aku bisa sendiri, kok."
Erina mencoba bergerak agar dapat bangun dan duduk bersandar, Fiora yang melihat hal itu dari bayang cermin, segera menghampiri, dan membantu Erina. Karena hal itu juga, mau tidak mau, Fiora harus mengalah membiarkan Erina mengepang rambut Fiora, seperti kemarin.