Darkpunzel

Art Fadilah
Chapter #7

07. Juni Astina

"Fi, sayang, Oma udah buatin makan malam untuk kamu." Fiora mengangkat kepala, netranya berbinar senang, menemukan Erina menyambut kepulangan Fiora dengan kedua tangan terbuka, tanpa pikir panjang, Fiora melepas sepatunya lalu menerjang Erina dengan pelukan kuat. Oma-nya sudah baik-baik saja. Oma-nya sudah sembuh. Fiora tersenyum lebar. Seolah ada beberapa beban terangkat di bahu, Fiora lega luar biasa, meski masalah Fiora belum terselesaikan sepenuhnya, setidaknya Erina sudah kembali sehat.

Erina mengecup puncak rambut Fiora, ia mengelus punggung cucunya lembut. "Kenapa pulang terlambat, tadi di sekolah ada tugas yang belum selesai?" tanya Erina perhatian, wanita yang memiliki netra yang sama coklatnya seperti Fiora itu, memperhatikan penampilan sang cucu. Kali ini, Fiora benar-benar terlihat kotor, dan berantakan sekali, kelopak matanya juga membengkak. Dengan sabar, Erina menunggu jawaban si cucu.

Gadis terkepang satu tersebut menjawab sembari tersenyum. "Aku tadi bersihin kelas dulu, Oma."

Erina mengangguk, ia mengecup kening Fiora halus. "Kalau mata kamu, kenapa bengkak, hm?" Senyum Fiora melebar, kekhawatiran yang ditunjukkan oleh Erina, secara jelas, membuat Fiora merasa dikasihi.

Ia menyahut. "Sekarang udah nggak papa, Oma."

Erina menyematkan poni miring Fiora ke belakang telinga, ia membiarkan Fiora menjaga masalah pribadinya sendiri, cepat atau lambat Fiora akan dewasa, sehingga harus bisa menyelesaikan selisih di kehidupan gadis itu, maka Erina tidak mencampuri urusan sang cucu. "Ya udah, sekarang kamu makan, ya." Fiora mengangguk antusias.

Esoknya, ketika Fiora memasuki kelas, gadis itu masih merasa tidak enak, dengan Juni, yang kini sedang membaca buku. Ada perasaan bersalah dan keinginan untuk meminta maaf, tetapi, Fiora sendiri merasa ragu memecah keheningan yang ada. Angin berhembus dari celah jendela, Fiora bisa melihat sepuluh menit lagi bel masuk, maka sebelum guru bahasa datang, Fiora harus cepat-cepat meminta maaf. Fiora menggigit bibir. "Um... Jun---"

"Fi aku---"

Membulatkan mata, Juni masih mau berbicara dengannya, senyum simpul terukir di bibir Fiora. "Juni aku... aku minta maaf," ujar Fiora cepat. Fiora menyaksikan perubahan ekspresi Juni terkejut akan pernyataannya, hingga mengabaikan buku bacaan di tangan gadis itu.

Kacamata Juni sedikit terangkat, saat gadis terkepang dua itu tersenyum lebar menanggapi Fiora. "Ahh leganya... aku pikir kamu masih marah, aku juga minta maaf karena secara nggak langsung udah ganggu kamu."

"Enggak kok!" Fiora memotong, seketika keduanya terdiam. Fiora tidak pernah berfikir bahwa kehadiran Juni telah mengganggunya, malahan Fiora bersyukur, adanya gadis itu membuat Fiora memiliki seseorang yang bisa dikatakan teman dekat. Kemarin, adalah di luar kendali Fiora sendiri, gadis itu tak mampu menahan semua trauma, yang menghujam sistem kesadaran gadis itu, hingga melampiaskan amarah pada Juni yang bahkan tidak tahu apa-apa. Sorot Fiora berubah sendu. "Aku... bener-bener minta maaf... aku... ngebentak kamu gitu aja padahal kamu udah tulus mau bantu aku." Tak ada kebohongan di sana, Fiora benar-benar mengungkapkan kejujuran dari lubuk hatinya sendiri.

Senyum Juni melebar. Gadis berkepang dua itu, mengambil sebuah bekal kecil dari dalam tas, lalu memberikannya ke meja Fiora. Fiora menoleh tidak paham. "Aku niat mau minta maaf sama kamu pake kue kering buatan Ibu aku, tapi ternyata udah kamu duluan yang ngomong." Juni menjelaskan, kemudian, membenarkan letak kacamatanya sebentar. "Sekarang, kuenya buat kamu aja, jangan ditolak loh ya," ujar Juni melanjutkan, memberi nada peringatan.

Fiora menggigit bibir. "Jun... kamu... uhh...." Bukan selalu orang buruk yang berada di sekitar Fiora, nyatanya bila Fiora benar-benar membuka mata, selalu saja ada orang yang membantu gadis itu, berbuat baik pada Fiora, agar Fiora menyadari bahwa kehidupan tidak selalu berputar pada masalah.

Wajah Fiora memperlihatkan keharuan. "Kemarin... beneran, aku yang salah, ha-harusnya kamu nggak ngasih kue dan sebaik ini sama aku. Aku... bisa nangis ini Jun," kata Fiora mendramatisir. Fiora tidak berbohong mengatakan kemungkinan menangis sebab kebaikan Juni yang luar biasa.

Juni tertawa. "Nggak, kemarin aku juga salah," akunya. "Sekarang kamu terima ya kuenya?" tanya Juni mengalihkan pembicaraan.

Kini giliran Fiora yang menggeleng. "Gimana kalau kita setengahan, aku nggak enak nerima semuanya," sahut Fiora kemudian. Juni kembali tertawa, padahal tak ada niat sedikit pun Fiora mengajaknya bercanda. Kalau diperhatikan sekali lagi, Juni Astina memang seceria itu. Fiora tersenyum menanggapi.

Juni kembali menguasai diri, ia berujar, "Nggak deh, buat kamu aja." Tepat saat Juni membalas, bel berbunyi, guru berpakaian rapih berwarna hitam itu, berjalan memasuki kelas, pelajaran pertama adalah bahasa indonesia. Fiora berbisik, "Kalau gitu makasih ya Jun, bakalan aku abisin kok." Juni mengangguk. Fiora menaruh bekal pemberian Juni ke kolong meja, lalu bersiap berdiri memberi salam pada Pak Alwi.

Pria dengan kerutan wajah tersebut, mulai berdiri di tengah papan tulis, salah satu tangannya menggenggam setupuk kertas berwarna putih. Pak Alwi membuka suara. "Murid-murid Bapak sudah mengoreksi hasil puisi di kelas ini, murid yang terpilih, akan membacakan hasil tulisannya dalam acara pentas kesenian yang diadakan besok." Penghuni kelas diam, menunggu kelanjutan Pak Alwi mengungkapkan siapa orang dengan tulisan terbaik.

Lihat selengkapnya