Hari itu akhirnya tiba, hari di mana untuk pertama kali dalam hidup Fiora, gadis itu berdiri di belakang panggung, menunggu giliran disaksikan, puluhan pasang mata mengamati pergerakkannya. Panggung kesenian diadakan oleh sekolah tidak terlalu mewah sebab luas lapangannya minimalis, dengan atribut sederhana terpasang sebagai penghias. Di atas panggung juga terdapat piano yang dimainkan guru kesenian, untuk mengiringi puisi yang dibacakan setiap perwakilan kelas.
Baru-baru ini, Fiora menyadari bahwa gadis yang sedang membacakan puisi dari sebelas MIPA satu itu, merupakan gadis sama yang Fiora temukan bersama Ravin ketika jam pulang sekolah kemarin itu. Namanya Lissa. Nyatanya, perempuan yang bersama Ravin, adalah, gadis cerdas dalam bidang akademik, pula aktif bidang organisasi.
Suara tepuk tangan terdengar setelah Lissa selesai membacakan. Jantung Fiora berdegup, detakanya mampu membuat Fiora tersengat aliran listrik ringan, hingga perlahan rasa gugup muncul. Fiora menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan, demi menenangkan diri. Maka inilah saatnya! Fiora berjalan ke depan, berdiri di atas panggung tepat di hadapan mikrofon. Netra Fiora melihat seluruh penjuru mata, menyorotnya lekat, Fiora meremas jemari basahnya.
Saat Fiora dilanda keresahan yang amat membuat tenggorokan bisu, Fiora menelan saliva, meski dirinya sendiri merasa senang menanti-nantikan di atas panggung seperti ini, tetap saja, tubuhnya terserang kepanikan khas. Fiora melirik asal titik orang-orang yang mengamatinya, berharap dapat melihat Juni menyemangati, nihil, yang Fiora temukan malahan sepasang mata seorang gadis yang pernah Fiora jumpai tertidur di kelas. Fiora termenung, gadis itu menatap Fiora lurus, tanpa sedikit pun adanya sorot penghakiman akan sikap aneh Fiora di atas panggung yang diam ketika dentingan piano terdengar. Senyum tipis terukir dari si gadis yang Fiora ketahui dari absen kelas bernama Sagita Bella, seolah Bella ingin memberi sebuah dukungan positif melalui senyuman kecil. Tepat ketika itu, Fiora merasa yakin. Fiora tahu dirinya harus melakukan apa.
"Di balik jendela besar." Suasana menjadi hening saat Fiora membaca satu baris kalimat dalam puisi. Menjeda, Fiora menatap satu per satu pasang mata, ia mulai merendahkan notasi suara pada baris kedua. "Harapan tumbuh berkarat." Memori Fiora terlempar, kilasan masa lalu di mana dirinya meringkuk sendirian penuh luka. Bertanya-tanya mengapa dirinya terlahir sehat bila hanya menjadi kesialan. Hidupnya retak. Tak ada kenangan hangat seperti anak lain. Disiksa oleh Istari sampai Fiora tidak tahu apa artinya kebahagiaan.
"Sang malam mendengar rintihan." Memori lain berdatangan secara berantakan, memberi gambaran pada Fiora betapa menyedihkannya gadis itu. Tiap-tiap malam, berlalu dengan cepat, hari demi hari Fiora menangis oleh sikap Istari yang bahkan memperlakukan Fiora dengan begitu buruk. Fiora mengerutkan kening, memejamkan mata, suaranya terdengar nanar. "Di sanalah tersembunyi kehidupan sekarat." Mau dikata apa, Fiora memang sudah terkurung pada kegelapan. Tumbuh dengan banyaknya trauma mengerikan. Memiliki banyak bekas luka benda tumpul yang tidak mudah hilang dari kulit. Setelah bait pertama selesai terucap, Fiora melanjutkan puisinya ke bait kedua dan berakhir di bait ketiga.
Suara deru tepuk tangan membahana membelah kesunyian, ketika, Fiora menyelesaikan bait ketiga dalam puisi. Fiora menggigit bibir menatap wajah mereka yang kini terlihat mendalami suasana menyedihkan yang Fiora ciptakan. Bibir si gadis terkepang satu itu tertarik, ia tersenyum tipis, semilir angin meniup wajah Fiora halus. Fiora menundukkan kepala, lalu mundur dari panggung, seolah mengungkapkan perkataan terima kasih secara tidak langsung. Dan dalam kurun waktu yang cukup singkat itu Fiora sadar, bahwa berada di atas panggung seperti sebuah jati diri yang dirinya sukai. Fiora menikmatinya.
Waktu berlalu, Fiora mencoba menemukan Juni di antara banyaknya kerumunan, tetap saja Fiora tidak menemukan gadis berponi berkepang dua itu. Fiora malah dihampiri Utami dan Mika untuk mengatakan, betapa luar biasanya pertunjukkan Fiora, mewakilkan kelas mereka. Fiora tahu seharusnya dirinya tidak sekhawatir itu hanya karena Juni tidak menepati janji. Namun, rasa cemas malah menggrogoti perasaan was-was Fiora.
Esok pun tiba, Fiora menemukan Juni duduk di tempat biasa, sembari mengerjakan sesuatu yang bahkan tidak diketahui Fiora sendiri. Fiora menaruh tasnya, lalu atensi gadis terkepang satu itu, menatap Juni meminta perhatian. Juni menoleh dan Fiora baru menyadari bahwa Juni bahkan tidak mengenakan kacamata biasanya, ia menggunakan kotak lensa hitam dengan rambut terkepang dua.
"Jun kamu... nggak pake kacamata?" tanya Fiora melupakan niatan awal mempertanyakan ketidakberadaan gadis itu kemarin.
Juni tersenyum, Fiora termenung. "Kak Riki bilang dia malu jalan sama aku kalau aku pake kacamata. Makanya aku pake kotak lensa, gimana?" Juni berbicara antusias, bahkan binar cerah tergambar jelas.