Darkpunzel

Art Fadilah
Chapter #11

11. Sagita Bella

"Kamu bisa panggil aku Bella." Mereka berdua duduk di lantai, sama-sama bersandar di dinding kusam kelas. Mengabaikan seragam yang nanti berubah ternodai debu. Mereka mencoba saling membuka diri masing-masing, setelah menubruk lalu menyadari sedang sama-sama bersedih. "Waktu itu... aku sempet lihat kamu nangis di depan kelas," Bella membuka suara, tatapan gadis dengan rambut terikat satu itu, jatuh menerawang masa di mana dirinya melihat Fiora duduk melipat lengan. Ponsel Bella berada pada genggaman gadis itu sendiri, layarnya hitam dan retak. Bella melanjutkan, "Aku nggak tahu harus ngapain karena... kamu tahu... kita---"

Fiora mengangguk. Ia memainkan jemarinya yang masih bergetar usai perselisihan dengan Juni Astina. "Ya, karena, aku orang asing." Fiora melanjutkan ucapan Bella yang tertunda. Jejak-jejak air mata pada Fiora masih terlihat jelas, ia menyampirkan poni miringnya ketika helaian rambut gadis itu menghalau pandangan.

"Apa kamu sadar ada aku di kursi belakang?" Fiora terdiam ketika Bella menanyakan hal tersebut, Fiora menoleh, lalu bergumam mengiyakan tanpa ragu.

"Pertamanya aku mau bangunin kamu, tapi, setelah ngeliat tangan kamu, aku ngerasa aku nggak boleh bangunin kamu." Fiora membalas yang disahuti Bella dengan cepat dan buru-buru. "Tapi aku udah nutupin pake plester!"

Fiora tersenyum simpul, ia menemukan benang merah dari permasalahan Sagita Bella sama seperti dugaannya. "Kamu... sengaja ngelukain diri kamu sendiri makanya kamu nutupin pake plester 'kan?" Suasana berubah hening, Bella membungkam lalu menunduk menutupi wajah yang mendadak ingin menangis. Tubuh gadis berambut ikat satu itu bergetar. Ponselnya pun dibiarkan menganggur. Fiora bergeming sembari menggigit bibir. Tidak tahu, apa yang harusnya gadis itu lakukan.

"Aku benci rumah," Bella memulai cerita, ia menegakkan kepala, lalu mengusap wajah. Bella mengulang kalimat yang sama. "Aku benci rumah," ujarnya lirih.

Fiora bisa melihat sisi kerapuhan Bella dari jarak sedekat ini, ia berbisik, "Fiora, kamu bisa panggil aku, Fiora."

Bella mengangguk. "Kalau di rumah aku selalu dituntut, kamu tahu, dituntut untuk menjadi yang sempurna." Fiora terdiam, memori gadis itu jatuh ke masa lalu terbayangi akan dirinya sendiri yang harus belajar setiap hari menuruti keinginan Istari. "Aku pernah tinggal di kota. Karena, pekerjaan Papa, aku pindah ke desa pas awal kenaikkan kelas sekolah menengah."

"Aku nggak pernah masalah akan di mana aku belajar atau di mana aku tinggal, asal mereka bisa bareng lagi... aku bener-bener nggak masalah." Wajah Bella terlihat sendu, tiupan angin segar dari balik jendela meniup dirinya halus. "Tapi yang aku lihat, mereka malah semakin menjauh, saling memunggungi seperti ninggalin aku sendirian di tengah-tengah." Tetesan air mata mengalir, Bella mengelapnya cepat. "Aku... kangen hubungan mereka yang baik, seenggaknya aku minta kayak dulu lagi. Sama-sama kayak dulu lagi sama kayak aku waktu masih kecil."

"Siapa yang kamu maksud mereka?" Fiora bertanya, atensi gadis berkepang satu itu sepenuhnya sudah menatap Bella bulat-bulat, wajahnya begitu dipenuhi keingintahuan.

Lihat selengkapnya