Kali ini latihan voli tanpa menggunakan net, Irfan berdiri di tengah lapangan, bersama sekumpulan teman lelaki sekelas MIPA dua. Karena, belum dimulainya permainan maka belum adanya aturan. Para murid diperbolehkan mencoba terlebih dahulu bermain bola voli sesuai teknik yang diajarkan. Kaki kiri Irfan berdiri di depan, sejajar dengan kaki kanan yang berada di belakang, tubuhnya tegap, bola dipegang oleh tangan kiri. Lalu, menyorot siap, untuk melakukan servis---tidakan awal yang dilakukan oleh salah satu pemain memulai suatu permainan, dalam bola voli. Dan ketika Irfan merasa sudah waktunya. Ia melambungkan bola. Kemudian, ia pukul menggunakan tangan kanan.
Irfan sudah menduga lemparannya, pasti bisa melewati batas, yang telah ditentukan, akan diberi besi net oleh gurunya. Namun, yang Irfan tidak duga ialah bola volinya, malah mengarah menghantam seorang perempuan berkepang satu di sana. Irfan melotot, ia menelan saliva, memikirkan kemungkinan terburuk perempuan tersebut, akan berakhir di ruang kesehatan. Akan tetapi, Irfan salah menilai, perempuan yang diketahui Irfan merupakan murid pindahan itu, menangkap voli terlambung. Irfan menghembuskan napas lega.
Baru saja dirinya bernapas dengan benar, seseorang menubruk bahunya membuat Irfan menoleh dengan sengit. "Apa?!" sewotnya. Awalnya Irfan ingin protes lebih lama lagi, tetapi setelah matanya menemukan sesosok Ravin berdiri, dengan wajah dingin khasnya, membuat Irfan mendengkus jengkel. Ravin berujar sinis. "Lemparan lo jelek." Setelah mengucapkan kalimat singkat itu, Ravin berjalan pergi. Irfan berdecak, mereka bahkan jarang melakukan komunikasi, sekalinya diajak bicara duluan, dengan sombong Ravin malah mengatai permainannya. "Tiba-tiba ngatain jelek, kayak lemparan dia lebih bagus aja." Irfan menggerutu lalu pergi dari tengah lapangan, dan memilih agak ke pinggir agar tidak mengenai murid perempuan lagi.
"Fi, kamu nggak papa?" Bella bertanya setelah Fiora menangkap bola voli yang mengarah ke wajah gadis itu. Beruntung, Fiora memiliki refleks bagus dalam menerima tangkapan. Bella menggeram ia menyorot Irfan si pelaku lemparan, yang ditatap memberi senyum bersalah.
"Nggak papa," balas Fiora singkat.
"Kamu yakin nggak papa, tangan kamu gemetar gitu, Fi." Bella memberi alasan kekhawatirannya. Benar, walau Fiora berhasil menangkap bola, kedua tangan gadis itu bergetar gelisah, layaknya sedang menghadapi hal yang paling ingin ia jauhi.
Fiora menggigit bibir. "Ya, Bell, nggak papa, a... aku cuma kepikiran sama Juni." Pernyataan itu tidak sepenuhnya bohong, meski sebenarnya Fiora memang merasa takut dengan lemparan tiba-tiba itu. Fiora memiliki spontanitas yang bisa dibilang hebat. Namun walau kelihatannya begitu, selalu saja, rasa trauma yang diberikan Istari pada gadis itu tetap membayang, seperti tak mau hilang.
Bicara tentang Juni, sekarang sudah lewat dua minggu mereka tidak berkomunikasi seperti biasa. Juni menghilang bersama kakak kelas IPS tiga itu. Fiora bertanya-tanya di manakah mereka, namun, semakin Fiora telusuri, Fiora semakin tidak menemukan jawabannya. Bahkan, Fiora pernah mengunjungi rumah Juni, akan tetapi, yang dirinya lihat ketidakadaan gadis berkepang dua tersebut berada.
Mereka sedang melangsungkan pelajaran olahraga, di mana seluruh penghuni kelas MIPA dua, menggunakan pakaian olahraga berwarna biru, bertuliskan sekolah mereka. Pelajaran yang ingin dimainkan adalah permainan bola besar, salah satunya voli. Biar sekolah Fiora merupakan sekolah kumuh pedesaan, yang agak jauh dari kota, bukan berarti pemerintah tidak memfasilitasi sekolah tersebut. Walau pelajarannya sedikit tertinggal, pemerintah tetap memberi fasilitas yang membantu. Contoh untuk pelajaran olahraga, bola voli misalnya.
Pelajaran demi pelajaran sudah terlalui, diakhiri dengan pelajaran kewarganegaraan. Bel pulang sekolah berbunyi, Fiora menutup resleting tas, kemudian menoleh ke arah Bella, yang duduk paling belakang jauh dekat jendela mengarah koridor, Fiora menghampiri, ia menaruh tasnya di atas meja lalu menyentuh bahu bergetar Bella pelan. "Jangan sedih terus Bell, aku beliin roti ya, sekalian mau ke koperasi juga."
Fiora menyadari, Bella lebih sering menangis setiap bel pulang sekolah berbunyi, ia begitu tidak ingin pulang ke rumah, mentalnya rapuh, ia mudah patah hanya dengan mengingat kenyataan bahwa hubungan keluarganya tidak seharmonis dulu. Fiora mencoba memahami posisi Bella. Dirinya pernah tersakiti, memiliki trauma aneh yang selalu membuatnya, terlihat lemah. Dan Fiora berusaha untuk tidak menyudutkan seorang Sagita Bella atau membandingkan kehidupan mereka berdua yang sama-sama menderitanya. Dengan begitu Bella tidak terlalu merasa sakit, bukan?
Bella mengangkat wajah, menyeka air matanya, ia tersenyum. "Maaf Fi udah bikin kamu repot." Bella berujar yang dibalas senyum. Fiora mengangguk. "Nggak papa, aku ke kantin dulu ya, jagain tas aku."
Setelah mengucapkan hal itu, Fiora berjalan pergi ke luar kelas, ia menuruni tangga terlebih dahulu, lalu membeli roti dan air mineral, ia juga berjalan ke koperasi membeli beberapa alat tulis dan minuman dingin. Sembari berjalan, pikiran Fiora berkelana, satu ide terlewat di otak, ia belum mencoba ke kelas dua belas IPS tiga, mungkin saja, di sana ada seseorang yang tahu akan keberadaan Juni. Fiora hanya mencari tahu dari guru-guru dan teman sekelas, dan jawaban mereka sama sekali tidak mempuaskannya. Alih-alih berjalan memasuki kelas sebelas MIPA dua menemui Bella, Fiora lebih memilih menaiki tangga lagi untuk melaksanakan niatnya mengecek kelas atas.