Darkpunzel

Art Fadilah
Chapter #13

13. Redupnya Harapan

Setiap manusia punya mental dan cara berpikir yang berbeda-beda, tiap hati, selalu punya lukanya sendiri. Fiora pikir rasa sakit, yang ia terima sudah cukup banyak, dan mampu membuatnya tidak bisa tidur nyenyak dalam jangka waktu lama, tetapi, seolah sedang mematahkan pikirannya, Fiora dihadapi persoalan baru.

Hidup ini tak mudah, setiap rasa sakit yang diterima akan dibayar dengan kebahagiaan, sama seperti ungkapan orang-orang menjelaskan bahwa akan ada pelangi sesudah hujan, atau akan ada canda tawa setelah kesedihan. Lantas, pernahkah mereka berpikir bahwa ketika kebahagiaan telah datang masalah baru sedang menanti di pengujung jalan? Maksudnya, setelah pelangi, akan ada terik matahari yang panas menyengat, menghilangkan paksa keindahan si benda warna-warni, untuk menunjukkan, awal rasa sakit lain, yang harus diterima, meski memakan waktu berhari-hari lamanya, hanya demi menunggu hujan kembali datang, kemudian digantikan oleh pelangi yang baru---kebahagiaan yang baru. Manusia berhak memilih: menyerah atau tetap melangkah, sebatas itu. Hanya sebatas itu, demi tujuan hidup yang ingin diraih, sampai manusia telah habis massa di dunia.

Fiora tersenyum, tangannya melambai ke arah jendela mobil yang terbuka, lima detik kemudian, mobil tersebut melaju, setelah Bella membalas lambaian tangan Fiora. Selepas Bella pergi, Fiora membuang napas, menenangkan diri agar tetap terlihat baik saat nanti berhadapan dengan sang oma.

Pertamanya memang begitu. Dan seharusnya seperti itu.

Fiora berdiri kaku, beberapa tetangga berkumpul di depan rumah Erina. Wajah pura baik-baik gadis itu perlahan memudar, tergantikan oleh wajah khawatir yang membuatnya segera menghampiri kerumunan, tergesa.

"Ada apa?" Fiora bertanya, menatap penjelasan pada wanita beranak satu dengan pakaian bermotif bunga-bunga, bersama wanita paruh baya lainnya. Mereka saling berpandangan, lalu menatap ragu, Fiora berani bersumpah, sikap mereka yang seperti itu membuat denyut nadi Fiora bekerja tidak semestinya. Kening Fiora berkerut, ia sama sekali tak menginginkan untuk mendengar berita buruk. Tidak akan terjadi apa-apa, bukan?

Marisa mencoba membuka suara, pelan-pelan mengungkapkan alasan mengapa mereka berkumpul di sini. "Ibu masih belum yakin Nak Fi, tapi, Oma belum keluar dari pagi hari tadi, pas Nak Fiora berangkat sekolah. Pintunya juga masih dikunci dari dalem." Oma tidak akan pernah meninggalkannya.Tidak mungkin Erina tidak keluar dari rumah, sedangkan Erina sendiri begitu senang merawat kebun di halaman, Erina juga senang menyapa dan membantu para tetangga. Oma tidak akan pernah meninggalkannya. Fiora terserang rasa panik, ia merogoh semua saku mencari kunci rumah cadangan. Pelupuk Fiora terbendung air mata, ia menggigiti bibir, menyalurkan semua segala kerisauan negatif dalam benaknya. Oma tidak akan pernah meninggalkannya. Fiora menghapus air matanya kasar, meyakini bahwa tidak akan pernah terjadi apa pun pada Erina! Telapak tangan Fiora berkeringat setelah menemukan kunci cadangan di salah satu saku tas.

Lihat selengkapnya