Setiap makhluk hidup, memiliki naluri yang tidak disadari mendorong untuk berbuat sesuatu, menjauhi ancaman, atau menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kini, perasaan naluri itu timbul dalam diri Fiora, bekerja tak terkendali, menyuruh Fiora pergi dari tempatnya berada, menuju tempat lebih aman ditinggali. Firasat Fiora menajam, ia menatap menggunakan, iris coklat besar akan ketidakpercayaan mengenai kedatangan Istari di hadapannya ini. Bibinya berdiri, dengan aura memancar kebencian, menghalau cahaya lampu memandang Fiora bengis.
Langit semakin menggelap, hembusan udaranya mampu memberi suhu dingin di tubuh. Jendela kamar sengaja dibiarkan terbuka, membuat bulan terlihat berdiri kokoh dalam balutan lembutnya malam, memancarkan sinar redup, memberi pantulan cahaya bagi bumi, yang kehilangan angkuhnya sang matahari. Pancaran samar itu menyirami wajah Istari, hingga Fiora tersadarkan, bahwa apa yang dilihatnya bukanlah, khayalan maupun ilusi mimpi buruk. Netra coklat Fiora menggelap, memandang kacau. Dada Fiora naik turun, ia tersengal gelagapan.
"Ibu meninggal karena kamu 'kan?"
Tidak. Fiora menggeleng cepat. Ia gelagapan, memandang Istari ketakutan. Iris Fiora memanas, bibirnya tergigit, tenggorokannya terasa tak bisa mengeluarkan suara.
Pandangan Istari berubah penuh amarah. "IBU MENINGGAL KARENA KAMU 'KAN!" jerit Istari histeris.
Air mata Fiora tak terbendung, mengalir deras, membasahi pipi Fiora yang pucat. Bukan karena dirinya. Erina pergi bukan karena kehadiran dirinya. Fiora sesegukkan. Isakkan lolos dari bibir mungil dengan jejak gigitan berdarah. Fiora menggeleng keras. Bukan karena dirinya!
Istari menyorot hina, ia berjalan ke kamar mandi mengambil air dingin tertampung, kemudian membawanya untuk menyiram tubuh ringkih Fiora. Bunyi dentuman terdengar keras setelah Istari melempar wadah ke dinding dekat sudut ruangan. Ia memandang Fiora murka. Genangan air tercipta. Fiora memeluk kedua lutut menggigil. Kelopak mata gadis itu terus-menerus mengeluarkan kesedihannya. Fiora menangis tanpa suara, menahan ringisan sekuat tenaga.
Istari mengepal kedua tangan memecahkan keheningan. "Aku udah bilang sama Ibu, kalau kamu cuma anak terkutuk yang bikin sial!" Istari mengepal tangannya sendiri dengan kedua air mata mengalir. Bohong bila ia mengaku tidak merasa kehilangan. Istari mengerang menuntut, "Ibu ngotot mau ngerawat kamu, padahal nggak akan ada gunanya ngerawat anak sial yang udah bikin ibu kandungnya sendiri kesakitan sampe akhir hayat!"
Selalu dengan kata-kata kelewat kejam yang tak bisa dilupakan Fiora. Ia menggeleng, memberi respon pada Istari bahwa apa yang diucapkan bibinya tidaklah benar. Tentu saja, 'kan? Fiora terisak, meski Fiora mencoba meyakini dirinya sendiri, tentang apa yang diucapkan Istari akan selalu salah. Tetapi, mengapa Fiora tidak bisa membantah secara terang-terangan, seolah diam-diam Fiora memang merasa demikian. Fiora merasa tidak memiliki kekuatan menolak. Ia berada terambang di antara benar dan salah. Karena, Fiora tidak tahu harus membantah seperti apa?