"Seumur hidup, aku baru pertama kali ngeliat ini semua, ngerasain kayak gini, sampe-sampe aku takut kalau...." Rambut hitam Fiora tertiup segar. Pandangan mereka bertemu dalam keheningan, Fiora bergumam, "Makasih Ravin."
Ravin membenci sesosok Fiora yang mampu menghadirkan banyaknya, serpihan memori kecil dalam hidup lelaki itu, memberi ingatan lama sampai Ravin bisa melihat jelas bagaimana sosok masa kecilnya yang dulu. Kemudian pelan-pelan, bayangan Astrid hadir secara samar, tersenyum menggunakan apron menyambut kedatangan Ravin sehabis pulang bermain. Selalu begitu. Astrid selalu menunjukkan senyum tulusnya. Bagaimana bisa Ravin tidak membenci Fiora, sedangkan gadis itu sudah membuka luka lamanya begitu saja.
Seharusnya, bila lelaki itu tidak menginginkan mengenang ingatan lama, ia tidak perlu berhubungan pada masalah Fiora. Dirinya hanya perlu berpura-pura tidak peduli, menutup mata dan telinga seakan tidak terjadi apa pun. Bukankah seharusnya begitu. Namun mengapa kini dirinya malah melindungi gadis itu?
Ravin memfokuskan pandangan, irisnya memercikkan api panas siap bertempur. Di hadapan lelaki itu Riki berdiri menatapnya remeh, meski Ravin memasang wajah dingin tanpa riak, sorot dalam kedua netra hitamnya sama sekali tidak main-main, seolah dirinya memusatkan segala kekuatan demi melindungi gadis di belakangannya. Benar, melindungi gadis yang amat dibencinya. Bukankah sikapnya ini terlihat begitu eksentrik? Well, siapa peduli, Ravin sudah terlanjur berada di sini, maka meski harus babak belur sekalipun, Ravin akan menjaganya. Ravin Cakrawala memang serumit ini.
Karena terlalu memberi atensi berlebih pada pergerakkan Riki, Ravin melupakan teman-teman lainnya, yang mulai berjalan mendekati lelaki itu. Kemudian tanpa pemberitahuan, punggung Ravin diserang dari arah belakang, Ravin menoleh cepat, namun malah hal itulah, menyebabkan teman lain memukul rahangnya keras-keras. Konsentrasi Ravin terpecah pada Fiora yang sedang menangis. Tanpa mengeluarkan umpatan menyeruak keluar di dalam hati, Ravin menghantam pangkal hidung lelaki beranting putih bernama Fandi, memberi balasan.
Ravin melayangkan tendangan di kiri dan bogeman mentah pada lawan selanjutnya. Tak ada napas yang tersengal terdengar dari bibir Ravin, ia mengerahkan kekuatan, pada pertarungan tidak imbang ini. Kegiatannya terhenti, saat secara mengejutkan, Riki lebih dulu memukul temannya yang ingin menyerang Ravin. Lelaki Cakrawala itu memperhatikan.
Tatapan Riki terlihat tajam, ia membuka suara tegas. "Siapa yang nyuruh lo serang dia?" Pertanyaan itu diajukan Riki pada teman sekawannya yang barusan ia pukul. "Siapa yang nyuruh lo-lo pada serang dia!" murka Riki karena tak mendengar jawaban. Satu alis Ravin terangkat tidak mengerti.
Edris menyahut, lelaki berkaus abu polos dengan kemeja putih. "Kita mau bantu lo, Ki!"
Delan menambahkan, "Lo tahu sendiri lo udah dianggep apa sama kita-kita. Wajar kita-kita lindungin ketua!" Si lelaki berjaket kulit mengedarkan pandangan. "Yoi nggak?!" tanyannya yang disahuti persetujuan tiga kawan lain.