Fiora melihatnya lagi, sosok sama yang telah mengenalkannya, pada dunia luar, agar bisa bebas dari kekangan Istari sementara. Sepasang iris hitam pekat, dengan sinar redup yang berbeda. Fiora memperhatikan punggung tegap Ravin sejenak, kilasan samar punggung bocah lelaki dua belas tahun, merayapi pikiran si gadis, memberi aliran kehangatan di rongga dada. Fiora kembali mengingat bagaimana Ravin tersenyum, mengajaknya menuju bukit. Gadis itu sama sekali takkan pernah melupakan masa-masa itu.
Kalau melihat sikap Ravin yang seperti ini, bukankah Fiora bisa salah paham. Fiora memalingkan wajah, takut terhadap perasaannya yang kalah. Ia merindukan bagaimana cara mereka berteman seperti dulu. Gadis itu menggigit bibir menekan kegelisahan. Bohong bila Fiora, tidak menginginkan masa-masa itu kembali datang, masa-masa di mana dirinya bersama Ravin menjadi dekat begitu saja.
Kedua netra coklat Fiora memanas. Bagaimana bisa lelaki itu, benar-benar bersikap seolah melindunginya begini. Ia berkelahi, lalu memukul mereka yang sudah mengusik dirinya. Ahh dia pandai dalam pertarungan. Entah mengapa, hal itu, menjadi perasaan lega tersendiri bagi Fiora. Perbedaan intens dari Ravin yang dulu, dengan yang sekarang ialah, sinar mata dan senyumannya. Sekarang, lelaki itu benar-benar terlihat dingin, tak terjangkau.
Fiora mendatangi Riki bukan tanpa alasan, dirinya menginginkan pertanggungjawaban lelaki itu, terhadap perbuatannya pada Juni. Fiora tentu tidak bisa mengajak Juni secara gamblang untuk menemaninya, menemui Riki, mengingat kondisi mental lemah gadis itu, bila tahu bahwa, kenyataan akan memukul telak harapannya kapan saja. Fiora takut keputusasaan akan menguasai seorang Juni Astina, kemudian perlahan-lahan membuat gadis itu tamat dengan sendirinya. Maka, Fiora pun melakukan segalanya secara keras kepala. Bukan hanya untuk Juni, namun, juga demi keyakinan Fiora sendiri mengenai ungkapan Istari akan kelahirannya---kesialannya. Fiora menginginkan pembuktian nyata akan dirinya-lah, ia bisa menyelesaikan masalah, dan menjadi pembawa baik.
Riki tergelak, ia tertawa seolah ingin mencela semua ucapan yang baru saja dikatakan Fiora. Riki tersenyum. "Kalau gue bilang gue nggak mau tanggung jawab, lo mau apa?" Pertanyaan itu mengudara, memberi Fiora pilihan bagaimana dirinya, seharusnya bersikap, agar Riki mau mengikuti keinginannya untuk Juni. Lalu, jawaban apa lagi selain memohon? Tidak ada pikiran lain. Perasaan Fiora kacau-balau. Ia sesegukkan. Juni tidak boleh lebur. Sudah cukup, masa depan gadis itu rusak, oleh perbuatan dirinya sendiri yang hina. Kali ini, Fiora menginginkan yang terbaik. Sebab Fiora tahu, jika bukan Riki, Juni akan lebih patah, dirinya akan pecah berkeping-keping tanpa sisa. Karena Juni Astina hanya memberikan cinta utuhnya pada Riki Irwana bukan lelaki lain.
Fiora berlutut, menyamakan posisi agar sejajar dengan Riki yang duduk di tanah. "Aku mohon Kak...." Baru beberapa detik Fiora tetap pada pendirian permohonannya, saat sadar, Ravin sudah melayangkan berbagai pukulan mengenai wajah Riki. "Idiot!" umpat lelaki itu, ketus.
Fiora memundurkan langkah, tangannya terkepal. Setelah ini, harus bagaimana Fiora berbuat, Juni pasti akan sakit hati, bila tahu harapannya hancur, disebabkan Riki yang tidak mau mempertanggungjawabkan semuanya. Inilah alasan mengapa Fiora takut bila ia mengajak Juni bertemu dengan Riki Irwana. Juni bisa saja segera tamat. Robek, antara hidup dan mati.
"Lo bahkan nggak pantes dibilang idiot. Lo tuh sampah!" Riki terbatuk darah, setelah Ravin memukul wajahnya, berulang kali tiada henti. Seakan Ravin sedang melampiaskan segala kemarahannya pada kakak kelasnya tersebut. Fiora memainkan jemari berkeringatnya resah. Sesaat karena berpikir dan melamunkan semua kebingungan, Fiora membulatkan mata, menatap sekumpulan orang-orang, yang mulai mendekati dirinya, di antara mereka adanya, para aparat kepolisian.