Fiora menghembuskan napas pelan-pelan, ia menyorot sendu. "Bohong 'kan? Kamu bener-bener nggak inget sama aku padahal waktu itu kamu sendiri yang ngajak aku buat main ke luar. Dulu. Empat tahun yang lalu!" Dan entah akan kekuatan apa, Fiora mendesak Ravin agar lelaki itu, membalas pernyataannya seperti yang diinginkan Fiora sendiri. Katakan dirinya egois, lalu memangnya kenapa? Ravin adalah satu-satunya seorang yang mampu memberi kenangan pada Fiora saat itu. Dirinya yang menjadi alasan mengapa Fiora memiliki mimpi yang baru. Mimpi yang awalnya tumbuh meredup, kemudian berkembang secara hebat ketika Erina memeluk Fiora di hari itu.
Mereka bilang, akan ada perasaan sulit yang dijelaskan, kala kita bertemu dengan seseorang lawan jenis yang berarti. Takdir memberi ikatan tanpa sadar, hingga seakan waktu menunjukkan kekuatannya, mereka akan bertemu suatu hari nanti. Fiora pikir teori itu tidak bisa dirinya bantah. Karena kenyataannya, empat tahun lalu, saat kedua iris hitam Ravin tertangkap oleh retina Fiora, di balik jendela, mengajaknya bermain, saat itulah perasaan yang digembor-gemborkan orang-orang datang. Mereka kembali bertemu pada kejadian tak terduga begitu saja. Fiora lagi-lagi bisa melihat sesosok Ravin Cakrawala. Bukankah itu yang disebut takdir?
Dari awal, Fiora sudah memiliki perasaan yang salah. Perasaan yang seharusnya tidak boleh ada. Perasaan berbeda ketika Fiora berhadapan dengan Juni maupun Bella. Jarak waktu mereka dipertemukan memang amatlah singkat, hanya sekadar saling berbincang, kemudian berakhir Fiora dapat keluar dari batas amannya. Fakta ini terdengar aneh, hanya dengan pertemuan mereka ketika itu saja, Fiora sudah tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
"Kenapa diem aja?" Fiora memberi tatapan pengharapan. Pengharapan; satu kata yang memberi maksud keinginan sederhana dari seorang gadis macam Fiora. Gadis berambut hitam bernetra coklat itu, meminta penjelasan---penjelasan baik yang mengatakan: ya, Ravin sedang berbohong, dirinya masih amat mengingat Fiora. Sebatas itu. Apakah itu salah?
Fiora tidak mendeteksi kebohongan dari sepasang iris hitam Ravin. Seketika, jantung Fiora berdetak keras. Fiora menguatkan gigitannya kuat. "Emang sesusah itu jawab aku? Aku nggak mungkin salah. Kamu pasti Ravin yang itu. Ravin yang dulu pernah ngajak aku main ke luar!" Fiora memperlihatkan kekerasan-kepalanya.
Terdengar helaan napas dari lelaki berambut hitam berkulit bersih itu. Irisnya bergerak sejenak menghindari iris coklat Fiora, hingga membuat Fiora merasa lelaki itu, sedang terganggu akan kehadirannya. Ahh jika bisa, Fiora tidak menginginkan jawaban yang menyakiti dirinya sendiri. Ia merapatkan bibir tertahan.
Iris mereka saling berpandangan. Ravin memberi sorot tanpa riak. "Gue nggak tahu. Bisa lo berhenti buat ngomongin hal-hal yang nggak gue ngerti." Tidak. Fiora mohon. Jangan jawaban seperti ini. Gadis itu bergeming kaku. Bagaimana bisa Ravin bisa berubah sedrastis begini. Fiora membutuhkan sebentar lelaki itu untuk menguatkan pendirian Fiora. Namun, mengapa Ravin layaknya seakan-akan semakin terlihat menjauh, tak tergapai, hilang begitu saja. Fiora sedang goyah. Ia perlahan retak di antara surga dan neraka. Apa berharap seperti itu termasuk dosa besar?
Fiora menggigit bibir kuat, jantungnya berdetak tak sesuai semestinya. Kening si gadis berkerut gelagapan. "Tapi seharusnya kamu---"