"Jun." Gadis berambut sedikit bergelombang hitam, berkulit agak coklat itu, sedang menyelami mimpi di malam hari. Jiwa raganya lelah, akibat masalah, yang dirinya akibatkan sendiri. Juni menginginkan kedamaian, namun, dirinya terlanjur basah tenggelam oleh kesalahan. "Juni." Gadis dengan nama panjang Astina itu mengerutkan kening. Bohong bila Juni mengatakan tidak masalah. Kejujuran yang ada di hatinya, malah mengatakan kegundahan. Juni terjebak oleh keinginan konyol akan kesempurnaan. Terkurung, terikat, hingga gadis itu, terperdaya di dalamnya. Ayah dan ibunya tidak mungkin senang mendengar putri sulung mereka, berakhir menyedihkan seperti ini. Lalu harus seperti apa lagi Juni melangkah?
Cahaya kemerahan di langit sebelah timur, muncul menjelang matahari terbit, memasuki kaca jendela, membiaskan, menembus benda bening, menyorot tirai apartemen, hingga memberi pantulan pudar pada wajah Juni yang masih terlelap. Apartemen Riki menjadi satu-satunya pelarian seorang Juni Astina dari sekolah, tetangga pula kedua orang tuanya. Apartemen kota dengan fasilitas, layaknya, rumah sungguhan. Juni tidak benar-benar nyenyak tertidur memasuki alam mimpi, gadis itu hanya tidak sengaja tertidur, akibat, terlalu takut menghadapi semua kenyataan yang terjadi di dalam hidupnya. Ia sangat merasa letih.
"Juni, bangun." Panggilan itu semakin terasa jelas di indra pendengaran. Juni memperdalam kerutannya, bergerak sebentar, kemudian membuka kelopak matanya sejenak. Karena gadis itu tak mengenakan kontak lensa, maupun kacamata, membuat Juni melihat perawakan seorang yang membangunkannya secara samar. Sekelebat memincingkan mata, Juni mengerjap, lalu, wajahnya berubah penuh kelegaan. Garis wajah, bentuk rambut, berserta sepasang iris hitam, dengan pandangan penuh kelekatan.
"Kak Riki... Kakak dateng... Kakak dateng...." Suara Juni terdengar kacau dan sumbang. Juni sesegukkan. Bila Riki mau mempertanggungjawabkan hal yang sudah dilakukannya, mungkin Juni akan lebih kuat menghadapi ayah dan ibunya. Bila Riki mau menemani Juni melewati semua gunjingan-gunjingan mengenai hubungan dosa mereka, mungkin Juni bisa lebih bertahan melawan semuanya. Dan bila Riki tetap memberikan segala perhatian, kasih sayang pula kesempurnaan, mungkin Juni tidak masalah dijauhkan oleh orang-orang---dibenci, dianggap buruk, hina, sampah dan sebagainya. Juni bisa memperkuat dirinya sendiri asalkan Riki mau menepati janji-janjinya.
"Kenapa Kakak pergi... aku takut... padahal Kakak bilang bakalan tetep ada di samping aku. Aku takut ngadepin A-Ayah sama I-Ibu... kita... kita udah ngelakuin hal yang salah Kak. A-aku hamil. A-aku harus kayak gimana?" Juni menjelaskan segala kekalutannya, yang menyeruak di dalam hati. Juni memang benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, bila Riki, memberi jawaban tak sesuai harapannya. Untuk itu, Juni sangat ketakutan. Semua kejadian buruk menghantam pikiran Juni, memberi banyak gambaran menyakitkan, saat perlahan satu per satu orang-orang sadar gadis sepertinya hamil di luar nikah.
Gadis itu mengangkat wajah menyorot lurus Riki penuh-penuh. Jika semakin diperhatikan, Juni baru menyadari bahwa wajah Riki dipenuhi luka-luka yang belum mengering. Juni mengerutkan kening khawatir. "Kak, Kakak nggak papa?" Saat keadaan seperti ini pun Juni terliputi rasa kekhawatiran pada kakak kelasnya itu.
"Jun, ini." Ahh segenggam bunga tulip putih. Seperti biasa Riki memberi benda-benda kesukaan Juni karena dulu Juni sering memintanya. Juni tersenyum sembari menerima pemberian Riki tersebut. Bukankah hal ini bertanda baik? Juni menyorot Riki hangat. "Ini tandanya Kakak setuju 'kan?" Selang beberapa menit, hanya keheningan yang mengisi suasana di antara mereka berdua. Air mata mulai menggenang. Juni sesegukkan. Ia juga baru menyadari bahwa di atas laci, samping lampu tidur, terdapat sejumlah nominal uang dan beberapa tangkai bunga tulip lainnya.