Ting, tong!!
Heksa yang sedang menjemur pakaiannya mendengar bel rumahnya berbunyi. Heksa buru-buru membukakan pagar pintu rumahnya sembari mengeluh. Siapa lagi yang datang?? Apa mungkin dua bapak penyidik kemarin?? Beberapa hari ini … Heksa cukup kesal tinggal di desa tempatnya lahir. Karena kasus orang hilang: Ibunya Agung dan Ibu Sari, Heksa menerima tatapan ngeri dari tetanggannya dan hampir seluruh penduduk desa. Hanya dari tatapan itu saja, Heksa sadar bahwa semua penduduk desa sekarang menganggapnya sebagai pembawa sial karena korban yang hilang sebelumnya selalu berdebat dengan Heksa.
Tadinya … Heksa memilih datang ke desa ini dan tinggal sementara di sini karena penguntitnya yang bernama Bram yang terus mengganggunya baik di rumah maupun di tempat kerjanya. Heksa mengira dengan datang ke rumah lamanya, Heksa akan mendapatkan ketenangan dalam hidupnya. Tapi, Heksa salah besar. Ketenangan itu tidak pernah datang dan justru keadaannya semakin rumit saja.
Klik!
Heksa membuka pintu pagarnya dan menemukan seorang pria dengan wajah yang tidak asing berdiri di depan rumahnya dengan membawa kotak steroform yang besar.
“Kamu!!” Heksa terkejut melihat siapa yang datang ke rumahnya di pagi hari. “Kenapa kemari??”
“Aku bawa ini.” Pria itu melirik kotak steroformnya yang besar. “Ini ikan yang diberikan padaku dari desa sebelah saat aku belanja ke sana pagi tadi. Jumlahnya terlalu banyak, jadi aku bagikan beberapa.”
“Kenapa aku juga dikasih? Kurasa kita nggak cukup kenal.” Heksa mengerutkan alisnya merasa heran.
“Aku dengar orang-orang mulai menghindarimu karena kasus orang hilang terutama Ibunya Agung. Jadi aku kemari memberi ini, mungkin ini bisa berguna sebagai bahan makanmu selama tinggal di sini.”
Heksa menganggukkan kepalanya merasa menyesal karena sudah sedikit kasar pada tamunya dan memasang senyum kecil merasa berterima kasih. “Ma-makasih banyak kalo gitu.”
“Mau taruh di mana? Ini lumayan berat soalnya.”
“Ohh!! Silakan ikut aku, kulkasku di dalam.” Heksa memandu tamunya masuk ke dalam rumahnya menuju dapur rumahnya di mana kulkas berada. “Di sini. Letakkan di sini saja! Nanti biar aku masukkan ke kulkas sendiri!”
“Jangan!! Esnya mungkin sudah hampir cair karena aku bawa pagi buta tadi. Biar aku masukkan ke dalam freezer, kamu bisa selesaikan jemuranmu dulu.”
“Beneran nggak papa?” Heksa merasa sedikit sungkan dengan tamunya itu karena sudah sangat berbaik hati padanya.
“Ya, nggak papa. Aku sudah biasa kok gini sama tetangga-tetangga yang lain.”
“Kalo gitu, sekali lagi makasih. Aku selesaikan jemur baju dulu.”
Heksa berbalik dan hendak melanjutkan jemur bajunya yang belum sempat selesai. Tapi setelah berbalik, Heksa mendengar suara langkah kaki cepat dari arah belakangnya.
“Ada a-“ Heksa hendak berbalik merasa mungkin tamunya membutuhkan bantuan darinya. Tapi sebelum sempat berbalik, Heksa menemukan tubuhnya disergap dari belakang. Kedua tangannya ditahan oleh satu tangan tamunya dan dikunci dengan sangat kuat. “A-apa yang ka-“