Melihat jangkar besar yang terhubung dengan rantai yang juga terhubung dengan kaki Heksa dan kaki Okta, Damar bisa melihat dengan jelas bahwa Okta berniat untuk mati bersama dengan Heksa. Oleh karena itu, Damar yang terhubung panggilan dengan Ali yang berada di kapal lain, memberi aba-aba.
“Siap-siap, Li! Target berniat untuk bunuh diri bersama dengan Heksa!”
“Baik, Pak.”
Setelah memastikan Ali telah siap untuk berjaga-jaga jika Okta melakukan aksi bunuh dirinya, Damar menghela napas sejenak dan bersiap untuk menyerang jika diperlukan. Huft!!
Sekarang … Damar hanya perlu menodongkan senjata api miliknya pada Okta dan membuat Okta menyerah. Dan jika diperlukan, Damar akan melumpuhkan Okta dengan beberapa tembakan dari senjata api miliknya dan membuat Okta tidak bisa bergerak.
Itu yang Damar pikirkan.
“Okta!! Angkat tangan!” Damar keluar dari persembunyiannya, menodongkan senjata apinya pada Okta dan bersiap untuk meringkus Okta-tersangka yang telah membuat banyak penduduk desa menghilang selama bertahun-tahun.
Bukannya merasa takut, Okta justru tersenyum melihat ke arah Damar. “Selamat siang, Pak.”
“Angkat tanganmu dan hentikan semua ini!”
Sekali lagi … Okta sama sekali tidak merasa takut, menolak melakukan apa yang diperintahkan oleh Damar dan justru mengabaikan Damar, dengan berbicara pada Aksa. “Kamu lihat, Aksa! Bukankah ini akhir yang bagus untuk ceritamu? Kira-kira setelah ini, apa yang akan terjadi? Penyidik di sana akan menembakku sampai mati atau aku akan jatuh ke laut bersama dengan Heksaku tersayang?”
“Okta! Angkat tanganmu!” Damar sekali lagi memberikan perintahnya dengan nada garangnya berusaha untuk mengintimidasi Okta.
Sayangnya … Okta sama sekali tidak merasa terintimidasi dan justru tersenyum lebih lebar seolah sedang menikmati ketegangan yang sedang terjadi saat ini.
“Gimana, Aksa? Setelah ini … apa yang akan terjadi?” Okta mengabaikan Damar lagi dan sibuk bicara dengan Aksa.
Dor!!!
Damar yang kesal karena diabaikan melepaskan tembakan ke udara untuk memperingatkan Okta. “Okta, angkat tangan!!!”
“Pak penyidik.” Okta akhirnya mengalihkan pandangannya pada Damar yang sedang menodongkan senjata api ke arahnya. “Kenapa Bapak buru-buru sekali? Panggung ini sudah aku siapkan dengan baik untuk Aksa dan Heksaku tersayang. Bapak harusnya juga ikut menikmati karena Bapak juga punya andil di dalamnya! Peran Bapak juga penting di sini.”
Damar mengerutkan keningnya tidak mengerti. “A-apa yang kamu bicarakan, Okta??”
“Nah, Aksa!” Okta sekali lagi mengabaikan Damar dan kembali bicara pada Aksa. “Mana akhir yang tepat untuk ceritamu? Katakan padaku!”
Di saat semua mata sedang tertuju pada Okta, Heksa yang tadinya dalam keadaan tak sadarkan diri, perlahan membuka matanya dan bangun. “A-apa yang-“
“Ah, Heksaku sayang akhirnya kamu bangun juga.” Okta yang berada tepat di samping Heksa, menyapa Heksa dengan senyuman di bibirnya.
“Kamu! Gimana kamu tahu panggilan itu??” Heksa langsung memasang wajah kaget mendengar bagaimana Okta memanggilnya. “Itu panggilan Ibuku padaku! Kenapa kamu bisa tahu?”
Okta mendekat ke arah Heksa tanpa rasa takut sekalipun pada Damar yang saat ini sedang menodongkan senjata api ke arahnya.
“Diam di tempat, Okta!” ancam Damar.