Aksa tiba di tempat yang diberikan oleh Damar. Dan begitu sampai … Aksa melihat Damar telah memesan kopi dan duduk bersama dengan asistennya yang sebelumnya pernah dikenalkannya pada Aksa: Ali.
“Selamat siang, Pak.” Aksa menyapa Damar.
“Siang, Aksa.” Damar menyapa diikuti oleh Ali yang juga mengucapkan kalimat yang sama.
Setelah saling menyapa satu sama lain, Aksa duduk di depan Damar, memesan minuman yang sama dengan Damar dan Ali: kopi, dan kemudian mulai bicara tentang tujuan Damar memanggilnya setelah dua minggu lamanya.
“Masih ingat janjiku waktu itu?” tanya Damar mengawali percakapan.
“Masih, Pak.” Aksa menjawab sembari mengingat janji yang Damar.
Berkat Okta, Aksa harus dirawat selama dua hari dan setelahnya, Aksa masih harus menjalani pemeriksaan sebagai saksi dan korban dalam kasus Okta. Pemeriksaan itu membutuhkan waktu selama satu hari lamanya. Dan tepat sebelum kembali dari kantor kepolisian Kota Y dan kembali ke kota J, Damar menghampiri Aksa dan mengatakan sesuatu pada Aksa.
“Ririn temanmu itu … ”
“Kenapa dengan Ririn, Pak?” Mendengar nama Ririn, tentu saja Aksa kaget. Aksa tidak menyangka Damar akan menyebut nama Ririn.
“Ada kemungkinan jika Ririn-temanmu itu bukan mati karena tabrak lari.”
“Eh?” Aksa benar-benar kaget mendengar ucapan Damar. “A-apa maksudnya itu, Pak??”
“Aku nggak bisa jelaskan sekarang, karena buktinya belum kuat. Hanya saja … ada yang ingin aku tanyakan. Apa kamu juga mengenal teman seangkatanmu yang bernama Aji dan Dewi?”
Aksa menganggukkan kepalanya. “Ya, kami bertiga bersahabat dengan Ririn. Tapi kami putus hubungan semenjak wisuda karena sebelumnya saya bekerja di luar pulau sebelum akhirnya lima tahun lalu saya memutuskan untuk kembali. Memangnya kenapa dengan mereka, Pak? Kenapa Bapak bertanya tentang Aji dan Dewi?”
“Apa kamu tahu kalo dua temanmu itu sudah lama dinyatakan hilang?”
“Hilang? A-apa maksudnya hi-“ Aksa kaget untuk kedua kalinya. Mendadak sesuatu dalam benak Aksa memberinya sebuah pikiran. “Ja-jangan bilang dua temanku itu juga-“
Damar tidak menganggukkan kepalanya, tidak juga menggelengkan kepalanya merespon pertanyaan Aksa. “Kami masih memeriksanya. Nanti setelah aku dapatkan hasilnya, aku akan menghubungi. Bisa aku minta nomormu, Aksa?”
“Gimana Bapak tahu kafe ini?” tanya Aksa basa-basi menunggu kopi pesanannya datang.
“Aku pernah bekerja di sini selama dua tahun lamanya. Kalo nggak salah itu … sepuluh tahun atau sebelas tahun yang lalu.” Damar menggaruk kepalanya. “Aku lupa kapan tepatnya. Yang aku ingat … waktu itu aku masih jadi asisten muda sama seperti asisten di sampingku.”
“Oh gitu.”
Setelah kopi yang dipesan Aksa datang, Ali-asisten Damar tiba-tiba mengeluarkan sebuah amplop coklat dan menyodorkannya ke arah Aksa.