Sehari-hari aku bekerja sebagai pustakawati di perpustakaan kota. Penghasilanku memang tidak seberapa, tapi aku selalu berusaha menabung dan berhemat karena aku sangat ingin keluar dari kota yang penuh sesak ini. Suatu hari nanti, aku ingin memulai hidup indahku di sebuah kota kecil yang penuh kedamaian bersama seseorang yang sangat berarti bagiku. Kami akan membentuk keluarga kecil yang bahagia. Namun, aku tidak tahu dengan siapa aku akan memulai hidup seperti itu.
“Olivia, kamu sering bercerita padaku bahwa kamu ingin pindah dari kota ini dan merangkai hidup di kota kecil yang damai?” tanya rekan kerjaku suatu pagi ketika kami sedang sibuk mengangkut buku dari luar gedung menuju ruangan penyimpanan buku baru.
Aku yang sibuk memindah buku dari kardus ke atas kereta angkut langsung menoleh pada temanku, Samantha. “Iya, segera setelah uangku terkumpul lebih banyak aku akan langsung pindah ke sana.”
Samantha menyerahkan selembar brosur yang tidak kumengerti. “Temanku yang tinggal di kota itu memberikanku brosurnya. Katanya kota itu sangat indah dan tentram. Kamu pasti nyaman tinggal di sana.”
Kuterima lembaran tersebut dan melihat nama kota itu sejenak.
Darlingtown.
Nama kota yang manis. Dari sini pun dapat ditempuh dengan pesawat meski butuh waktu satu hari untuk tiba di sana. Oh, aku harus segera ke sana!!
“Terima kasih ya, Samantha! Setelah uangku terkumpul cukup banyak, aku akan pindah ke kota ini.” Aku menyimpan brosur kota Darlingtown yang masih rapi ke kantong blazer.
Samantha mengangguk bersemangat. “Sama-sama, Oliv. Omong-omong kamu tidak usah memusingkan soal uang di sana. Kata temanku biaya hidup di sana murah dan kamu bisa bekerja di sana. Pokoknya hidup di sana terjamin.”
Tiba-tiba di kepalaku muncul sebuah pertanyaan. “Dari semua kota yang indah yang ada di dunia ini, kenapa kamu merekomendasikan kota ini padaku?”
Wanita berambut merah bergelombang tersebut tersenyum. “Konon, semua orang yang tinggal di kota Darlingtown selalu menemukan jodohnya di sana dalam waktu kurang dari satu tahun.”
“Kalau masih juga belum mendapat jodohnya?”
“Berarti jodohmu memang tidak ada di dunia ini.”
.
.
.
Hari Jumat yang cerah, usai kelas, Litani tampak terburu-buru meringkas semua peralatan perkuliahannya. Gadis tersebut merasa senang. Hal itu terlihat dari senyum yang terulas di bibirnya. Sore ini, dia akan bertemu dengan seseorang yang selalu membuatnya merasa bahagia dan santai. Jadwalnya bertemu dengan orang ini tidak menentu, tapi setidaknya sebulan sekali. Pernah suatu kali gadis berkemeja hitam ini sampai menemui orang tersebut hingga sebulan empat kali, tergantung kebutuhan.