Tiket pesawat menuju Darlingtown telah kubeli, aku juga sudah mempersiapkan beberapa pakaian dan barang lain untuk kubawa ke sana. Beberapa hari lagi aku akan pindah ke sana sendirian. Aku tidak ingin ada orang lain yang tahu, kecuali sahabatku, karena mungkin suatu hari nanti dia juga mau menyusul ke sana untuk menjemput jodohnya yang entah siapa. Dia sendiri masih lajang dan belum menemukan orang yang dicintainya. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan pada kami yang menurutku tidak masuk akal. Beberapa orang selalu menanyai kami mengapa tidak pacaran saja, tentu aku menjawab sembari tertawa.
“Tidak mungkin kami pacaran! Kami sudah bersahabat sangat lama dan pasti itu akan terasa aneh kalau kami jadi sepasang kekasih.” Aku menjawab demikian kalau ada orang yang menanyakan tentang kami.
Lagipula, Erik tidak pernah menganggapku sebagai perempuan.
“Untuk apa kamu pindah ke kota seperti ini? Sangat tidak masuk akal kamu bisa menemukan jodohmu dalam waktu kurang dari satu tahun di kota ini.” Suara Erik memecah pemikiranku tentang hubungan antara kami berdua.
Aku menoleh dan berkacak pinggang padanya. “Tidak ada salahnya kan aku mencoba? Mungkin saja aku bisa menemukan belahan jiwaku di sana. Kalau kamu juga mau ikut ke sana...”
Perkataanku langsung dipotong oleh Erik. “Aku tidak mau ke sana! Untuk apa aku ke kota konyol itu? Kamu itu sudah usia berapa, sih? Masih saja percaya dengan takhayul seperti itu??” ceramah Erik.
Aku menutup telingaku karena sedari tadi Erik mengomeliku. “Kan tidak ada salahnya berusaha mencari jodoh di sana, daripada kamu yang tidak berusaha sama sekali!”
“Karena aku tahu, bahwa hal seperti itu tidak perlu dicari atau dikejar. Suatu saat, pasti cinta akan datang sendiri kalau dia mau.”
“Teruslah menunggu hingga kamu tua!”cibirku mulai kesal.
“Ini kota yang sangat tidak masuk akal, apa kamu yakin ini bukan penipuan?” tanya Erik sekali lagi.
Kutatap wajahnya dengan tajam karena aku sudah tidak tahan dengan komentarnya dari tadi. “Berhentilah berkomentar tentang Darlingtown atau aku akan menendangmu keluar dari apartemenku!”
“Oke oke, aku akan diam. Tapi, kuharap kamu tidak menyesal karena memutuskan pindah ke kota misterius ini.” Erik mengangkat kedua tangannya menyerah.
.
.
.
“Apa maksud Kakak sebagai permintaan terakhir? Kakak mau mati? Ah, jangan dulu, Kak! Aku masih berharap Kakak menolong mengedit naskahku!!!” seru Litani dramatis.
Tara langsung menoyor kepala Litani dan mencubit pipi gadis yang sudah dianggapnya sebagai adik tersebut. “Enak saja mau mati. Kamu mendoakanku, heh?”
Editornya tersebut berdeham dan kali ini berbicara dengan serius. “Aku mau resign dari Literaturia Media karena mau mengurus rumah tangga, lagipula sekarang aku juga sudah mengandung tujuh bulan. Aku mau merawat sendiri anakku dengan sebaik-baiknya.”
Litani menganga, sedetik kemudian dia baru sadar. “Kakak mau keluar?? Yah, kok keluar? Sambil kerja dan merawat anak kan bisa?”