Kedua koperku telah masuk dalam pesawat dan yang tersisa hanyalah ransel di punggungku. Lima belas menit lagi pesawat akan berangkat, tapi aku sengaja menghabiskan waktu untuk bersama Erik. Ini adalah pertemuan terakhir kami. Mungkin saja suatu saat nanti aku akan bertemu dengannya lagi tapi saat itu aku telah bersama seseorang, jadi kami tidak akan bisa sedekat ini lagi. Bisa saja laki-laki tersebut akan cemburu dengan kedekatanku bersama Erik. Aku menatap mata Erik dan tiba-tiba air menggenang di pelupuk mataku.
“Hei, jangan menangis.” Erik berkata lembut seraya mengusap mataku dengan ibu jarinya. Dia berkata dengan lembut sekali.
Karena dia seperti itu, aku semakin menangis. “Erik, benarkah kamu tidak mau ikut saja denganku ke Darlingtown? Masih ada waktu untuk membeli tiket.”
Sahabatku ini langsung menggeleng. “Maaf, Oliv. Aku tidak bisa ikut denganmu. Masih sangat banyak urusan di sini dan aku harus membereskannya satu per satu.”
Aku langsung menunduk sedih. Sedih karena tidak berhasil membujuknya untuk pergi bersamaku ke Darlingtown, pasti akan sangat menyenangkan kalau dia mau ikut.
“Aku yakin kamu akan baik-baik saja di sana tanpaku. Jangan sampai karena aku tidak ikut, kamu jadi hilang harapan untuk mencari jodohmu.” Erik menyentuh daguku dan mengangkatnya sehingga mata kami bertemu. “Meski jauh, kita harus terus kontak-kontakan. Kamu tahu kan harus menghubungiku di mana??” lanjut Erik dengan senyum cerahnya yang akan sangat kurindukan.
“Tapi benarkah kamu tidak akan menyusul?” rayuku sekali lagi, mungkin saja Erik akan memikirkannya dua kali.
“Nope. Kamu tahu aku sangat tidak percaya dengan mitos semacam itu.”
“Nanti kalau kamu sudah menemukan jodohmu di sana, sebelum menikah kamu harus mengenalkannya dulu padaku. Biar aku yang menilai apa dia pantas bersanding denganmu atau tidak. Sekarang aku adalah wakil orangtuamu dalam memilihkan jodohmu.” Erik berujar dengan sinar mata jenaka.
Aku langsung memeluknya dengan erat dan lagi-lagi air mataku mengalir.
“Aku akan sangat merindukanmu, Erik.” Suaraku terdengar serak ketika mengucapkan hal tersebut.
“So do I.” Erik membalas dengan lembut. Kami pun berpelukan cukup lama.
Dalam 24 jam ke depan, tidak akan ada lagi orang yang akan cerewet padaku. Tidak akan ada lagi laki-laki yang mau mendengarkan keluhanku yang bagai kaset rusak. Belum tentu juga ada orang yang mau memeluk serta mengelus-elus kepalaku ketika aku ingin. Pokoknya, tidak akan ada Erik di sisiku...
.
.
.
Litani memantapkan hati dan jiwanya untuk memasuki gedung kantor Literaturia Media. Kehilangan editor membuat gadis tersebut seolah memasuki sebuah tempat asing antah berantah yang baru kali pertama dipijaknya. Ruangan di sini memang dingin, tapi hari ini entah mengapa terasa berkali-kali lipat jauh lebih dingin dari biasanya dan itu membuatnya menggigil.
Begitu melihat seorang gadis di balik meja resepsionis, Litani tersenyum ramah menyapanya. Dia sudah cukup akrab dengan semua orang di penerbitan tersebut karena sering berkunjung ke sana.
“Kebetulan sekali, editor pengganti Tara baru saja datang.” Selvi menyambutnya dengan ucapan demikian. Nada suaranya terdengar ramah, namun bagi Litani itu adalah salah satu sambutan neraka.
Meski begitu, Litani mencoba tersenyum. “Oke, aku akan langsung ke ruangan Tara saja.”
Si resepsionis mengacungkan jempol dan Litani membalasnya.
Litani sudah sangat hapal jalan menuju ruangan editorial, bahkan gadis itu sanggup menemukan ruangan editorial meski disuruh menutup matanya. Akhirnya di hadapannya terbentang pintu ruangan editorial dan Litani membukanya. Dengan langkah kecil dan dibuat santai, Litani menuju kubikel meja Tara. Dia mengintip sedikit bagian meja tersebut dan menemukan sebuah papan nama kecil dengan tulisan “Konstanta”. Sekarang Litani bertanya-tanya, berjenis kelamin apakah editornya yang sekarang?
Namun, Litani masih enggan langsung menghadap editor barunya. Dia masih menunggu sejenak di kubikel sebelah hingga sebuah suara bariton mengejutkannya.
“Mencari siapa?” tanya suara dalam tersebut.
Litani yang memang orangnya mudah terkejut langsung memekik kecil serta melonjak dan berhamburlah naskah novel yang tengah dirancangnya. Setidaknya ada 12 lembar yang tersebar di lantai.