DARLINGTOWN

Rain Emmeline
Chapter #6

5. Perburuan Cinta Dimulai!

Begitu menaiki pesawat, kukira aku sudah merasa baik-baik saja dan antusias dengan tempat tinggal baruku nanti. Ternyata tidak juga. Begitu duduk di kursi pesawat, aku justru menangis dan tiba-tiba saja sangat merindukan semua hal di kota ini. Aku akan merindukan suasana kota Cherie. Aku akan rindu dengan hiruk pikuk kota Cherie. Makanan dan minuman yang enak di sini juga akan masuk daftar kerinduanku. Lalu… entah kenapa tiba-tiba aku sudah sangat merindukan Erik.

Tapi mustahil kalau aku mengiriminya pesan di saat seperti ini. Pesawat telah lepas landas, jadi ponsel harus dinon-aktifkan. Baiklah, kalau begitu saat tiba di sana nanti aku akan langsung menghubunginya dan menyampaikan kerinduanku padanya. Berhubung selama ini aku hanya tinggal di kota ini sendirian dan dialah satu-satunya yang menemaniku di sini. Jadi wajar saja aku sangat merindukannya.

Apakah Erik akan makan dengan benar nanti? Bagaimana kalau pria itu terlalu sibuk bekerja sehingga lupa makan dan mandi? Biasanya aku yang selalu mengingatkannya makan. Sebenarnya ada satu hal yang selalu membuatku penasaran. Selama aku mengenal Erik, dia tidak pernah sama sekali membicarakan tentang perempuan yang dikencaninya. Setiap aku bertanya, dia selalu mengatakan tidak tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun. Padahal dia pria yang menarik baik secara fisik maupun kepribadian. Bahkan beberapa perempuan mendekatinya duluan. Tetapi sayangnya dia selalu menolak semua perempuan itu.

Tiba-tiba sebuah sapu tangan tersampir dari arah kiriku. Aku menoleh dan terpana mendapati seorang pria dengan rambut pirang dan mata hijau yang menyodorkan sapu tangan tersebut.

“Terima kasih.” Aku berkata pelan seraya menerima uluran sapu tangan darinya.

Pria yang duduk di sebelahku tersebut tersenyum dan menatapku ramah. “Tidak perlu merasa sungkan. Melihatmu yang menatap jendela dengan wajah sendu dan air mata menetes membuatku ingin memberimu sapu tangan.”

Aku tidak membalas ucapannya dan mengusap air mata dengan sapu tangan putih bersih tersebut.

“Ke mana tujuanmu? Pasti kamu akan berpisah jauh dengan orang yang kamu sayangi karena kamu terlihat begitu sedih.”

“Kota Darlingtown. Bagaimana denganmu?” balasku kembali bertanya. Aku sengaja tidak membalas ucapannya tentang orang yang kusayangi. Aku takut kalau aku merespon hal tersebut, nanti aku semakin menangis tersedu.

“Aku juga hendak ke kota itu.” Kali ini pria tersebut menjawab pendek dan tersenyum tipis.

“Aku mendengar cerita kalau di kota itu kita pasti dapat menemukan jodoh. Menurutmu, apa itu benar?” tanyaku dengan mata menerawang.

Dengan mengembuskan napas panjang, pria itu menatapku sekilas. “Aku juga tidak tahu apa itu benar atau tidak. Lagipula, bagaimana cara kita mengetahui bahwa seseorang adalah jodoh kita atau bukan? Ketika kita menikah dengan seseorang, lalu kita bercerai. Apa itu disebut tidak jodoh?” tanyanya dengan raut wajah sendu.

Kemudian pria tersebut menceritakan tentang kehidupan pernikahannya yang kandas hampir setahun lalu. Mendengar ceritanya membuatku semakin berpikir bahwa pernikahan membutuhkan persiapan yang matang dan tidak boleh sembarangan memilih pasangan nantinya. Karena dengan materi dan fisik yang bagus, tidak menjamin bahwa pernikahan akan berjalan bahagia.

.

.

.

Litani berangkat pagi kali ini, setengah jam lebih cepat daripada biasanya. Dia duduk sendirian di taman kampus dan menyedot susu cokelat kesukaannya. Terdapat lingkaran hitam di bawah matanya yang menandakan semalam dia kurang tidur. Beberapa orang sudah berpesan dan berusaha menghilangkan insomnia yang dialami Litani, tapi Litani tidak terlalu peduli dan dia selalu memanfaatkan waktu terjaganya untuk menulis cerita. Selagi dia menikmati pagi dan sinar mentari yang masih hangat, seseorang menghampirinya.

“Kok tahu aku ada di sini?” tanya Litani tidak jelas karena kedua bibirnya masih mengapit sedotan.

“Tahu lah, telepati kita kan sangat kuat.” Terra mencoba bercanda meski akhirnya tetap garing.

“Gimana editor barumu? Lebih cantik dari Kak Tara?? Kemarin kamu ketemu sama dia, kan?” tanya Terra secara beruntun.

Litani memutar bola matanya malas. “Cantik katamu? Editor baruku cowok, tahu! Dan kamu tahu? Cowok ini sangat menyebalkan! Okelah ceritaku banyak yang direvisi, tapi cara dia ngomongnya tajam banget, tahu! Mulutnya kayak nggak punya filter. Semua rancangan cerita yang kubuat masa disuruh ganti? Kenapa nggak sekalian ceritanya kuganti, saja??” gerutu Litani tiada henti. Bahkan usai mengatakan demikian gadis itu ngos-ngosan.

“Cowok? Wah, seru dong!”

Litani yang tadinya menggenggam kotak susu dengan normal langsung meremasnya hingga tidak berbentuk. “Ih, Terra!! Kok malah mikirin soal dia cowok!! Percuma muka ganteng tapi sifatnya nyebelin setengah mati!” erangnya berapi-api.

“Hati-hati, Lit! Jangan terlalu membenci seseorang, nanti kamu malah kepincut sama dia, lho.”

Satu-satunya hal yang paling tidak dibutuhkan Litani saat ini adalah pesan Terra yang satu ini. “Apaan sih, Ter. Mana mungkin aku bisa suka sama orang kayak begini!?”

“Omong-omong, bagus kan kamu ketemu sama editor seperti ini. Akhirnya kamu menemukan seseorang yang setara sama kamu, orang yang sama-sama mulutnya tajam banget.” Terra sedikit terkekeh.

 Litani memajukan bibirnya namun terdiam, bagaimana pun perkataan Terra ada benarnya. Sejak pertama bertemu Konstanta, dia tahu bahwa mereka setara soal kesinisan. Kalau sudah bertemu orang yang sama-sama sinis, dia dapat memuntahkan semua unek-unek kejamnya pada orang tersebut karena orang itu tidak akan tersinggung dan balik menyerangnya. Lihat saja siapa yang lebih kuat.

***

Memiliki project membuat kisah cinta membuat Litani jadi lebih sering memperhatikan sekitarnya. Setiap langkah yang dia ambil, setiap tempat yang dilewatinya, setiap percakapan yang didengarnya, selalu ditangkapnya dengan gesit. Litani tidak mau tertinggal segala kejadian yang ada di sekitarnya.

Namun, ada beberapa hal yang membuatnya muak.

“Sayang, malam ini ke mal, yuk. Ada tas yang mau kubeli.” Seorang cewek berkata dengan cowoknya di taman kampus, cewek itu terlihat menggelayut manja di lengan cowoknya.

Si cowok malah tersipu dan mencubit pipi kekasihnya. “Oke, Sayang! Habis gini, ya.”

Litani memalingkan wajah dengan hidung berkerut. Dia segera mencari objek yang lain. Kemudian matanya berpindah pada pasangan fenomenal kampus. Mereka fenomenal karena saking banyaknya orang-orang yang membicarakan mereka. Bicara yang jelek-jelek tentunya. Di kampus saja pose mereka seperti sudah sepasang suami-isteri, cowok memeluk pinggang ceweknya dengan posesif dan dia tidak malu langsung mengecup puncak kepala pacarnya. Kalau mereka di luar kampus, bagaimana interaksinya?

God! Apakah semua orang di kampus ini pacaran dengan cara yang menyebalkan seperti ini??” sungut Litani dalam hati.

Dia pun mengambil langkah besar-besar hendak berpindah ke tempat lain, naas dia malah menabrak seseorang yang sedang membawa banyak kertas karena setelahnya banyak kertas tercecer di paving.

Litani memungut beberapa kertas tersebut bersama orang yang ditabraknya, dia memandang siapa yang ditabraknya. “Maaf, Sas. Aku tadi nggak melihat ada kamu.”

Cowok yang ditabrak Litani tersenyum maklum. “Nggak apa, Lit. Kayaknya ini bukan kali pertama kamu menabrakku.”

Gadis berkemeja putih tersebut tertawa kecil dengan sindiran teman seangkatannya, Sastra. Tak ayal, dia membaca salah satu kertas yang ternyata berisi puisi cinta.

Seketika mata Litani bercahaya dan dia menanyakannya pada Sastra. “Sas, ini puisi karanganmu? Kamu bisa mengarang puisi cinta??” tanyanya tertarik.

Di luar dugaan, Sastra langsung menyambar kertas-kertas tersebut dari tangan Litani. “Itu bukan punyaku.”

Litani membuka mulutnya namun Sastra langsung menginterupsi. “Maaf, aku sedang sibuk. Aku pergi dulu.”

Sementara cowok berkemeja kotak-kotak tersebut menjauh bersama gitar di punggungnya, Litani melongo. Namun, gadis itu merasa bersemangat. Dia tahu bahwa Sastra berbohong. Mana ada orang yang sejudes itu kalau tidak sedang menutup-nutupi sesuatu? Apakah Sastra tidak sadar dia sedang melakukan reaksi transformasi[1]?

Gadis tersebut langsung mengunci sasaran bahwa dia akan memaksa Sastra untuk bercerita. Dengan hati yang ringan dia melangkah menuju perpustakaan untuk mencari referensi tugas yang harus dikumpulkan tiga hari lagi...

.

Malam hari, ketika Litani bertapa di depan laptopnya, ponselnya berbunyi. Ternyata ada pesan dari Konstanta.

Lihat selengkapnya