Setelah melalui panjangnya perjalanan pesawat selama 18 jam ini, akhirnya aku bisa menghirup udara segar di Darlingtown. Betapa senangnya aku melihat semua orang yang berjalan di sekitarku. Begitu keluar dari bandara, aku dapat melihat bahwa penduduk di kota ini sangat modis dan visualnya memanjakan mata. Sebenarnya, tidak hanya orang-orangnya saja, tetapi benda-benda di sini, toko-tokonya yang berjejer di sepanjang jalan juga memuaskan penglihatanku.
Serius, kalau Erik ada di sini, kami pasti bisa saling mengobrol tentang damainya kota ini. Wah! Di sana ada gerobak penjual hamburger! Sudah sangat lama aku tidak melihat penjual makanan berjualan di pinggir jalan seperti ini. Aku jadi nostalgia di sini.
“Pak, saya mau beli satu ya! Erik, kamu mau juga?” tanyaku dengan menoleh ke samping. Beberapa detik aku baru sadar kalau aku hanya sendirian.
Sahabatku itu kan tidak ikut kemari! Dasar Oliv bodoh!
“Baik, Nona! Omong-omong, siapa Erik?” tanya bapak penjual hamburger itu dengan senyum ramahnya.
“Err… Erik sahabat saya, Pak. Tapi saya lupa kalau dia tidak ikut ke sini.” Aku menjawab pertanyaan pria paruh baya tersebut.
Seraya memanggang daging sapi dan menyiapkan dua bun roti, pria itu tersenyum lagi. “Sepertinya kalian sangat dekat dan selalu menghabiskan waktu bersama sampai kamu lupa kalau dia tidak ikut?”
Aku hanya tertawa gugup. “Ya kami memang dekat, Pak.”
“Kalau begitu kenapa dia tidak ikut ke sini?” tanya bapak itu lagi.
“Tidak, Pak. Dia masih punya banyak pekerjaan dan tidak mau ikut ke sini.”
Pria itu tiba-tiba menatapku, “Jangan-jangan, kamu datang ke kota ini bertujuan mencari jodoh?” tanyanya lagi.
“Yah…” Aku tidak bisa terang-terangan menceritakan maksudku datang kemari kan? Seakan aku adalah wanita yang ingin segera menikah.
“Terkadang, kamu tidak sadar kalau jodohmu sudah ada di depan mata dan justru mencari ke tempat yang jauh.”
Ucapan penjual hamburger itu membuatku jadi merenung. Aku menggelengkan kepala untuk menghapus pemikiran aneh yang sempat muncul.
“Ini ya pesananmu. Kuharap kamu menemukan apa kamu cari di sini.” Pria itu memberikan pesananku dengan mengulas senyum hangat.
Selagi membayar, aku membalas. “Terima kasih, Pak.”
.
.
.
Semenjak perjanjian tersebut, Litani jadi sering memperhatikan Sastra. Kebetulan juga mereka mengambil banyak kelas yang sama, sehingga Litani dapat mengamati gerak-gerik Sastra setiap hari. Terra yang selalu menemani Litani curiga melihat sahabatnya yang terlalu memperhatikan Sastra dan baginya itu tidak biasa. Sejujurnya, Terra senang kalau sahabatnya yang selalu single ini dapat membuka hatinya untuk seseorang.
“Segitunya memperhatikan Sastra. Kalau kamu memperhatikannya seperti itu, nanti dia kege’eran, loh.” Terra berkata demikian ketika mereka sedang makan siang di kantin.
Litani yang sedang mengunyah bekal nasi gorengnya jadi tersedak dan langsung mengamati Terra. “Dia harusnya tahu kalau aku sering melihatinya. Kami punya perjanjian soalnya.”
“Perjanjian apa?”
“Kalau aku dapat menebak siapa perempuan yang dia sukai, maka dia akan mentraktirku sesuatu.”
Terra menyedot jus stroberinya. “Kok bisa tiba-tiba kalian membuat perjanjian seperti itu??” tanyanya tidak mengerti.
Yang ditanya tersenyum simpul. “Kemarin aku berhasil memergokinya membuat puisi cinta. Kamu tahu kan akhir-akhir ini aku mengejarnya karena dia satu-satunya cowok yang kutahu suka membuat puisi cinta. Ujung-ujungnya, kami malah bertaruh kalau aku berhasil menebak siapa cewek yang disukainya maka dia akan membelikan apa pun yang kumau.”