Di sini, aku tinggal di sebuah apartemen milik seorang wanita muda berusia 25 tahun yang bernama Angelica. Dia menyewakan kamar apartemen ini karena membutuhkan uang dan teman untuk tinggal bersama. Harga sewa yang cukup murah dan tempat yang nyaman membuatku tidak ragu lagi untuk tinggal di sini. Beruntung Angelica orang yang terlihat ramah dan menyenangkan.
“Hai, pasti kamu lelah dalam perjalanan, ya? Ayo kubantu kamu menaruh barang di kamarmu.” Angelica menyambutku begitu aku tiba di apartemennya.
“Oh, terima kasih.”
Setelah Angelica membantuku membawa semua barang ke kamar, dia menatapku dan tersenyum lebar. “Nah, Olivia, apa yang akan kamu lakukan besok?” tanya Angelica.
Aku memikirkan rencanaku yang sebelumnya. “Aku telah mengirimkan lamaran pekerjaan di sebuah toko roti, café, dan perpustakaan. Jadi aku masih menunggu kabar lebih lanjut dan berencana beres-beres barangku besok.”
“Wah, kalau begitu semoga besok kita bisa mendapat kabar baik, ya! Nanti kabari aku.”
Aku tersentuh dengan kebaikan hati Angelica. Sepertinya wanita ini dapat dipercaya. “Baik, Angelica. Nanti aku akan memberitahumu…”
Setelah semua barangku tersusun rapi di kamar, aku berbaring di tempat tidur dan menatap layar ponselku. Sekarang sudah menjelang malam, tetapi aku yakin kalau Erik belum tidur. Tanpa berpikir lagi aku langsung meneleponnya dan laki-laki itu menerimanya di dering ketiga.
“Halo…”
Betapa senangnya aku mendengar suara Erik. Padahal kami hanya baru berpisah belum sampai dua hari. “Hei, Erik! Kamu belum tidur, kan?” tanyaku.
Erik menjawab dari seberang sana. “Belum, Oliv. Kenapa baru menghubungiku sekarang!? Aku sudah menunggu teleponmu dari tadi!”
“Ya aku kan beres-beres dulu.”
“Ya sudah, tidak apa. Yang penting kamu tiba dengan selamat dan aku sudah lebih lega sekarang.”
Kami pun mengobrol cukup lama di telepon sampai pukul 11 malam. Aku sangat bersyukur setidaknya memiliki seseorang yang dapat kuhubungi setiap waktu. Dia menenangkan dan memberiku semangat. Berkat dukungannya, aku menjadi lebih optimis untuk menghadapi hari esok.
.
.
.
Gadis tersebut menekuk wajahnya beberapa puluh menit kemudian. Dia menatap sekitar dengan bosan dan mulai menggerutu pada Konstanta. “Yaelah, Kak. Kalau ke mal mah aku juga bisa, gampang menemukan orang pacaran di sana-sini. Ngapain Kakak ajak aku ke sini, ke tempat lain kek yang lebih bagus dan kisah cintanya bermakna! Nggak cuma yang picisan kayak gini!”
“Kamu kira aku mengajakmu ke sini untuk melihat orang pacaran? Ngapain sengenes itu hanya untuk menonton mereka??” balas Konstanta tidak habis pikir dengan pola pikir Litani.
“Terus ngapain ke sini kalau bukan untuk melihat mereka? Waktuku terlalu berharga nih Kak, untuk dihabiskan seperti ini!” Litani kembali mengomel tiada henti.
Tanpa diduga, Konstanta langsung beringsut ke hadapan Litani dan memasukkan eskrim ke mulut gadis tersebut. “Ngomel mulu. Makan nih eskrim. Kamu bawel juga, ya!”
Litani tergagap sejenak, tapi tak ayal dia menerima eskrim tersebut. “Err, makasih, Kak.”
Manis...
.
Kejutan dari Konstanta tidak hanya itu. Tiba-tiba saja pria itu langsung menggandeng tangan Litani dan mengajaknya berpindah tempat tanpa merasa bersalah. Litani yang tidak biasa digandeng oleh seorang pria berjengit terkejut seakan tersengat listrik. Gadis itu langsung menyentak tangan Konstanta.
“Nggak biasa digandeng cowok, ya?” tanya Konstanta seraya menaik-turunkan alis.