Keesokannya, saat aku sedang merapikan susunan roti di etalase dekat kasir seseorang menekan bel. Suara dentingan yang halus terdengar sehingga aku langsung bangkit berdiri dan memamerkan senyum pada pelanggan itu. Kulihat nampannya yang terisi cukup banyak roti dan bertanya ramah.
“Ada lagi yang hendak dibeli?” tanyaku seraya memasukkan roti yang dibelinya ke dalam kantong kertas.
“Kalau mau nomor ponselmu, apa harus beli juga?” tanya pelanggan itu dengan senyum simpul.
Ah. Jangan katakan pria ini sedang melakukan pendekatan padaku. Meski dia terlihat lumayan tampan, tapi caranya melakukan pendekatan membuatku meringis.
“Aku tidak punya ponsel.” Aku menjawab dengan kebohongan yang terlalu tidak masuk akal.
“Zaman sekarang apa ada yang tidak punya nomor ponsel? Aneh sekali. Bilang saja kalau kamu tidak mau memberikan nomormu!” Pria itu terlihat memicingkan matanya. “Tidak pernah ada wanita yang menolak memberikan nomornya padaku sebelumnya!”
“Ya sudah, kalau begitu ini adalah kali pertamamu.” Aku menyerahkan semua belanjaannya dan menyebutkan jumlah yang harus dibayarnya.
Meski gusar, untung saja pria itu masih membayar semua roti yang dibelinya.
“Aku bersumpah akan mendapatkan nomor ponselmu.”
Sungguh, aku sangat merinding mendengar sumpah pria itu. Dia terdengar sangat terobsesi dan angkuh. Kutenangkan hatiku, aku tidak boleh takut dengan pria seperti itu. Kita lihat saja, apakah dia bisa mendapatkan nomorku…
.
.
.
Hari ini jadwal Litani bertemu dengan editornya. Selain pertemuan khusus untuk membahas tentang novelnya setiap minggu sekali, ada tambahan satu kali pertemuan lagi. Bonus tersebut disebut oleh Konstanta sebagai pelajaran untuk menghayati perasaan cinta yang menjadi fokusnya dalam cerita. Litani ingin mengatai Konstanta sebagai tukang modus, tapi di sisi lain dia takut Konstanta kesal dan membatalkan kesepakatan mereka itu. Lagipula, hati kecilnya justru senang dengan pertemuan tambahan tersebut. Bahkan, Litani sangat menantikan pertemuan mereka itu.
“Berarti, pertemuan tambahan kita ini jadwal pastinya adalah hari Sabtu, ya. Kalau hari Sabtu kebetulan ada salah satu dari kita yang nggak bisa, akan diganti ke hari lain. Ini sifatnya fleksibel kok.” Konstanta berujar demikian ketika bertemu dengan Litani di mal.
Litani sengaja mengajak Konstanta untuk langsung bertemu di tempat janjian mereka meski sebenarnya Konstanta menawarkan untuk menjemputnya. Gadis itu malas kalau meladeni pertanyaan keluarganya tentang siapa pria yang menjemputnya. Lagipula Konstanta bukan pacarnya, jadi tidak mungkin Litani mengenalkannya pada keluarganya. Sebenarnya bisa saja dia mengatakan pada keluarganya kalau Konstanta adalah editornya, tetapi akan sangat tidak wajar kalau mereka terlalu sering pergi di malam Minggu dengan urusan ‘pekerjaan’.
“Kakak bisa buat keputusan begitu tanpa bertanya ke aku gitu kalau hari Sabtu apa aku ada acara? Misal jalan sama cowokku kek, atau sama temanku gitu…?” balas Litani sedikit protes dengan arogansi Konstanta dalam menentukan jadwal temu mereka.
Sekarang Konstanta menatapnya dengan pandangan malas dan senyum meremehkan. “Memangnya kamu punya pacar?” tanyanya singkat tapi langsung menohok.
Pertanyaan itu membuat Litani mengerutkan bibirnya. “Nggak sih. Ah, Kakak, nggak usah blak-blakan gitu kan nanyanya!”
“Biar kamu nggak sok sibuk gitu. Toh kamu tiap malam Minggu paling juga rebahan di tempat tidur sambil nonton film, baca novel, atau main game.” Semua pendapat Konstanta tepat akurat sehingga Litani makin memasang ekspresi sebal.
Konstanta tertawa dan merasa menang dalam adu argumentasi dengan penulis asuhannya tersebut. Secara refleks dia mengacak rambut Litani yang sudah dicatok dengan cantik sehingga gadis itu makin kesal.
Kali pertama mereka bertemu tadi, Litani sempat terpana dengan penampilan Konstanta. Hari ini pria itu mengenakan kemeja biru donker yang lengannya digulung hingga siku dan rambutnya ditata dengan rapi. Sementara wajahnya, yah, dia selalu tampan setiap saat. Litani sebenarnya sedikit heran, apa Konstanta sebegitu luangnya sehingga dapat bertemu dengannya seminggu dua kali? Memangnya pria itu tidak punya pacar atau gebetan? Karena sangat mustahil kalau perempuan tidak tertarik pada pria seperti Konstanta.
Sementara, hari ini Litani memakai kaus putih polos dengan rok biru langit selutut. Setidaknya dandanannya hari ini membuatnya cukup pantas bersanding dengan Konstanta. Bayangkan kalau dia datang dengan wajah polosnya, pasti akan terlihat seperti bumi dan langit dibandingkan dengan pria itu. Kemudian, Litani kembali memperhatikan Konstanta, sebuah ide muncul di benaknya.
“Kak, aku boleh request sesuatu?” tanya Litani dengan senyum tertahan. Mendapat reaksi “lanjutkan” dari Konstanta, dia melanjutkan. “Setiap kita jalan begini, ayo kita janjian warna baju yang sama.”
Pria itu mendengus dengan ide Litani. “Untuk apa? Kita sudah bukan ABG yang setiap berkencan janjian warna baju.”
Perkataan Konstanta itu ada benarnya. Tapi Litani jadi kesal mendengar komentar pria itu yang menusuk.
“Iya deh. Nanti aku pertimbangkan buat janjian warna baju.” Diam sejenak, kemudian Konstanta mendapat ide cemerlang. “Aku punya ide. Gimana kalau kita nggak perlu janjian warna baju tapi langsung ketemu buat lihat warna baju kita masing-masing. Kalau kita sudah terkoneksi, pasti bisa samaan warna baju tanpa janjian.”
Litani memutuskan berjalan duluan dan Konstanta menyusul di belakangnya. “Dikira kita bisa telepati kali ya, pakai baju warna sama tanpa janjian.”
“Aku serius sih. Kalau kita se-frekuensi, kita pasti bisa selalu berpikiran sama.” konstanta menimpali dan berjalan di samping Litani. “Kamu mau jalan ke mana sekarang?” tanyanya.
“Aku nggak tahu. Aku berjalan mengikuti ke mana pun kakiku melangkah.”
Tiba-tiba tangan Konstanta yang besar dan hangat langsung menggenggam jemari Litani dan pria itu menuntunnya ke tempat lain. “Kalau begitu aku punya ide kita harus ke mana.”