DARLINGTOWN

Rain Emmeline
Chapter #12

11. Sepertinya Ada yang Berubah...

Aku sangat ingin bercerita tentang pria gila itu. Satu-satunya orang yang dapat kuhubungi hanyalah Erik. Tapi hari ini dia tidak bisa dihubungi, sudah berkali-kali aku menelepon tapi selalu dialihkan. Apa dia sangat sibuk sampai-sampai tidak dapat mengangkat teleponku? Ah, menyebalkan sekali. Kalau tidak ada Erik, siapa lagi yang dapat kuajak mengobrol? Aku sangat bosan, tapi juga malas keluar. Ke mana si Erik?

Besoknya, Kevin masih datang ke toko roti. Tapi aku tidak begitu takut karena di toko roti ini masih ada beberapa pegawai pria. Lagipula Gabriel juga mengawasi toko roti ini setiap waktu, jadi Kevin tidak akan berani berbuat macam-macam. Beberapa kali Kevin ini terlihat mengawasiku, tapi aku tidak begitu memedulikannya. Selagi membawa roti yang masih hangat ke rak display di depan, tiba-tiba aku menabrak seorang pria. Hampir saja tumpukan roti itu jatuh kalau saja pria itu tidak sigap menangkapnya.

“Oh, maaf. Apa kamu baik-baik saja?” tanya pria itu dengan raut wajah khawatir.

Aku terpana. Pria di depanku ini sungguh tampan dan tinggi. Ini baru yang sesuai tipeku. “Oh iya, aku tidak apa. Maafkan aku karena tidak berhati-hati.”

“Tidak, aku yang ceroboh karena langsung berjalan tanpa lihat-lihat. Mari kubantu.”

Kami pun membenarkan roti yang berantakan di atas nampan, beruntung roti hanya jatuh di nampan lain tidak sampai ke lantai. Dia dan aku saling mengenal akibat insiden itu. Nama pria itu adalah Davido dan dia memiliki kesibukan sebagai guru TK. Wah, pasti dia sangat penyayang pada anak kecil.

Setelah cukup lama kami saling mengenal dan lebih dekat, akhirnya kami mulai berkencan. Ada beberapa hal yang kusukai dari Davido. Dia adalah orang yang lembut, perhatian, dan royal terutama padaku. Tapi ada juga beberapa hal yang tidak kusukai darinya, dia terlalu posesif dan sedikit obsesif. Akhirnya aku berusaha memikirkan kalau itu adalah tanda bahwa dia mencintaiku. Tapi lucunya dia cemburu apabila aku chat dengan Erik. Padahal apa yang perlu dicemburui dari Erik? Kami kan sudah dekat dari dulu?

“Aku pinjam ponselmu, ya…” pinta Davido saat berkunjung ke apartemen.

Aku memberikannya tanpa menaruh curiga sedikit pun. “Memangnya apa yang hendak kamu lakukan?” tanyaku.

“Aku mau minta foto kita beberapa hari lalu.”

“Oke.”

Bahkan Angelica pun berkata padaku bahwa dia kurang menyukai Davido. Dia mengatakan kalau dia memiliki naluri Davido bukanlah pria yang baik. Ada sesuatu yang mengganjal yang membuatnya selalu merasa curiga. Tapi, selama Davido selalu bersikap baik di apartemen, Angelica tidak berkomentar lagi.

Aku berharap, pemberhentian terakhirku adalah dia. Mencari bukanlah hal yang mudah, apalagi aku sudah berada di sini selama tujuh bulan. Aku tidak ingin melewati limit satu tahun itu. Sangat mengerikan kalau membayangkan jodohku tidak ada di dunia.

.

.

.

Dua hari ini merupakan saat-saat seperti neraka bagi Litani. Ini ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga. Bertahun-tahun dia tidak bertemu dengan Samuel, sekarang ketika mereka bertemu, rusak semua usahanya selama ini. Karena malam Minggu kemarin dia tidur ketika subuh, maka hal itu berbuntut panjang hingga malam Senin. Ini sungguh kesialan yang bertubi-tubi, bisa-bisa dia terlambat ke kampus kalau pukul tiga pagi begini dia masih terjaga. Memang hati sialan. Cinta sungguh menyebalkan. Oke, bukan soal cintanya, tapi soal patah hatinya.

Kalau sampai jam enam pagi dia masih belum bisa tidur juga, maka lebih baik dia tidak tidur sekalian. Setelah mengatur alarm pukul 06.15, Litani kembali berbaring dan menatap langit-langit kamarnya. Dia mencoba menutup mata, dan akhirnya terhanyut juga dalam kedamaian. Tapi rasanya sangat sebentar karena alarm ponselnya telah berbunyi sangat kencang. Terutama ponselnya disambungkan dengan speaker bass, semakin menggelegarlah suaranya.

Litani pun bangun dengan setengah hati. Matanya masih terasa sangat berat dan panas.

What the heck!” umpatnya dengan wajah bantal. “Aku bolos saja hari ini. Toh aku belum ambil jatah alpha-ku di buku daftar hadir.”

Gadis itu kembali membenamkan wajah di bantal kesayangannya. Terlelap sejenak, dia baru ingat kalau materi kelas hari ini cukup penting. Sekali tidak masuk, bisa terancam nilai ujiannya. Dengan langkah terseret-seret dia pun bangun dari tempat tidur dan mencari handuk kemudian bersiap-siap ke kampus.

.

Litani telah duduk di bangku kelas bagian belakang. Setidaknya kalau dia mengantuk, dosen yang mengajar tidak akan memergokinya. Kepala Litani kosong, dia sangat mengantuk dan ingin sekali tidur sekarang. Selagi dosennya belum datang, pasti menyenangkan bisa beristirahat beberapa menit. Baru saja dia menyandarkan kepala pada meja di bangkunya, seseorang duduk di sebelahnya dan menepuk pelan bahunya.

Hey, sleepy head! Semalam nggak tidur memangnya? Sampai pucat begitu.” Ucapan Sastra membuat Litani menoleh padanya masih dengan kepala disandarkan pada meja.

“Iya nih, aku ngantuk banget. Nanti saat Pak Liam mengajar, tolong jaga aku tidur ya. Jadi Pak Liam nggak memergokiku tidur.” pinta Litani seraya menguap.

“Semalam tidur jam berapa? Karena ngebut deadline novel, ya?” tanya Sastra sembari memangku dagu dengan telapak tangan.

“Sekitar jam tiga pagi. Nggak ngebut juga sih, aku nggak bisa tidur saja. Lagipula konsultasi sama editor besok, jadi masih sempat aku kerjakan malam ini.”

Wajah Sastra langsung tampak antusias. “Konsultasi di mana kamu?” tanyanya.

“Di kantor penerbit.” Litani menjawab dengan mata terpejam.

“Aku boleh ikut, nggak?” pinta Sastra.

Kali ini Litani membuka mata sebagian, menemukan kilatan semangat dari mata Sastra. “Apa kamu nggak akan bosan menunggu saat aku konsultasi? Kamu nggak bisa ikut masuk ruangan tempat aku konsultasi, lho.”

Sastra menggelengkan kepala seolah dia anak kecil yang meyakinkan ibunya untuk ikut berbelanja. “Nggak apa kali. Aku kan bisa menunggumu di luar, lagipula aku hanya ingin melihat kantor penerbitan itu seperti apa.”

“Oke, besok kamu boleh ikut.”

Sastra mengulum senyum lebar, sedangkan Litani kembali memejamkan matanya.

Lima menit kemudian Pak Liam telah tiba di kelas dan memulai materi pengajaran hari ini. Litani memasang posisi duduk tegak namun dengan kepala menunduk dan tangan menyilang di dada. Dia mengikuti materi kuliah dengan keadaan setengah sadar, beruntung Sastra dan Terra yang di sampingnya menghalangi pandangan Pak Liam pada Litani. Ketika tidur seperti itu, Litani merasa bersalah, sehingga dia berjanji tidak akan melakukannya lagi di lain waktu.

“Ini materi di kelas hari ini. Aku tahu kamu pasti butuh ini karena tadi sama sekali nggak fokus saat kelas.”

Sastra menyerahkan dua lembar kertas yang berisi catatan materi mereka hari ini. Litani membaca sekilas kumpulan bagan dan tulisan pria itu yang sedikit sulit terbaca. Gadis itu tersenyum, tetapi dia sangat senang karena Sastra berusaha membantunya dengan tulus.

Tanpa sengaja Litani tertawa kecil ketika memasukkan kertas itu ke dalam map transparan yang selalu dibawanya.

“Iya aku tahu tulisanku jelek. Tapi percayalah aku berusaha menulis itu sebagus-bagusnya.” Sastra sedikit mengerutkan bibirnya melihat reaksi Litani.

“Maaf, maaf. Tapi kamu kok lucu banget, Sas? BTW, thank you ya catatannya!” ujar Litani tergelak.

“Kamu mau langsung pulang atau nongkrong di kantin dulu?” tanya Sastra kemudian.

Tampak berpikir sejenak, kemudian Litani menjentikkan jarinya. “Aku mau ke Cadding Café, sekalian mengerjakan makalah di sana.”

Sastra ikut tersenyum dan berkata, “Oh, aku juga ikut kalau gitu. Kamu pergi sendirian ini? Terra nggak ikut?” tanyanya lagi.

Lihat selengkapnya