DARLINGTOWN

Rain Emmeline
Chapter #13

12. Permasalahan yang Tidak akan Selesai...

Berhubung hari ini kami pulang kencan terlalu malam, Davido mengajakku ke rumahnya. Kebetulan dia juga tinggal sendirian. Sampai di rumahnya, aku mengagumi semua furnitur dan tata letak rumahnya. Dia sangat rapi kalau dibandingkan denganku. Di rumahnya juga terdapat buku yang sangat banyak karena dia sangat suka membaca.

Kami makan malam bersama kemudian memutuskan untuk menonton film. Saat asyik menatap layar televisi, aku terkejut karena sebuah tangan menjalar ke balik kemejaku. Refleks aku menjauh dan menatap mata Davido tajam.

“Apa yang kamu lakukan?!” seruku sedikit gusar.

Davido tersenyum dan memijit pelipisnya. “Apa aku harus menjelaskannya? Seperti kamu tidak pernah melakukannya saja…”

Aku tercengang sekarang. “Ini pelecehan namanya! Mungkin kamu biasa melakukannya dengan perempuan lain. Tapi aku tidak suka hal seperti itu.”

Pria itu tidak mendengarkan ucapanku lagi, dia langsung beringsut mendekat dan mengurungku dengan kedua tangannya yang besar. “Aku jamin kamu akan menyukainya. Aku akan mengajarimu…”

Awalnya tubuhku terasa kaku. Pria itu mulai mencium leher dan tangannya kembali bergerilya ke dalam kemejaku. Aku tidak tahu ternyata aku punya kekuatan cukup besar setelah melihat Davido terjerembab di lantai dengan wajah kesakitan.

“Perempuan sialan! Dasar j*lang sok suci! Kau akan habis di tanganku!” Davido menggeram sembari berusaha berdiri meski sedikit tertatih.

Sebelum dia dapat menarik tanganku, aku mengambil vas bunga di mejanya dan memukul tengkuknya. Dia kembali terjatuh. Di kesempatan itulah aku menendang kemaluannya sekuat tenaga. Setahuku kelemahan seorang pria ada di organ kemaluannya. Dan ternyata benar, dia langsung ambruk dengan sumpah serapah yang tidak pantas didengar telingaku. Kuhadiahi tendangan sekeras mungkin sekali lagi. Sepertinya dia sudah pingsan sekarang.

“Semoga umurmu cukup panjang untuk dapat bertobat.”

Hasta la vista, baby!” ujarku seraya keluar dari rumahnya setelah mengambil semua barang-barangku.

Aku sangat bersyukur bisa terlepas dari pria itu. Untung saja aku masih diselamatkan oleh Tuhan agar tidak terjebak bersama orang mengerikan seperti itu. Angelica benar, Davido bukanlah pria yang baik. Cepat atau lambat kita pasti mengetahui keburukan seseorang jika menghabiskan waktu cukup lama dengannya. Waktu satu jam sangat tidak terasa kuhabiskan dengan pulang berjalan kaki karena memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi…

.

.

.

Tidak ada yang tahu bahwa Litani selama ini memiliki satu kesulitan. Meski dia berkuliah di jurusan psikologi, dia sebenarnya kurang menyukai kalau harus berhadapan dengan banyak orang baru. Sementara tugas-tugas kuliah menuntutnya untuk melakukan wawancara dengan beberapa orang baru, atau melakukan role play konseling pada orang yang tidak begitu dikenalnya. Tidak ada yang tahu betapa groginya gadis itu harus selalu menghadapi banyak orang.

Litani mengakui kalau dia sedikit takut pada manusia. Atau lebih tepatnya dia takut pada penilaian yang mereka lakukan setiap melihat orang lain. Setiap aksi yang dilakukan selalu menimbulkan reaksi, entah itu dapat terwujud atau hanya berupa pemikiran. Dia sangat tidak menyukai kalau reaksi yang timbul adalah pemikiran, terutama jika pemikiran negatif. Bagaimana kalau saat dia melakukan wawancara, orang yang diwawancarai itu memikirkan dia orang yang aneh dan kikuk? Belum lagi kalau dia ditolak oleh orang lain ketika bertanya suatu topik?

Suatu hari, dia mendapat tugas untuk melakukan pengambilan data dengan wawancara secara individu. Begitu selesai mendapat data tersebut, dia pulang ke rumah dengan jantung berdebar. Ada rasa lega, tetapi gugupnya juga masih tersisa. Ayahnya yang melihat itu langsung berkomentar.

“Mau sampai kapan kamu terus begini? Kamu sudah semester berapa sekarang? Apa kamu mau terus terlihat konyol kalau bertemu orang? Kamu itu anak psikologi, lho.”

Litani tidak membalas karena dia bingung harus menjawab apa. Lagipula hati kecilnya membenarkan ironi tersebut. Mana ada anak psikologi yang sepayah dirinya dalam menghadapi manusia?

“Lebih baik tinggalkan saja tulisan-tulisanmu yang tidak berguna itu. Kerjaanmu setiap hari hanya mengkhayal dan bermimpi. Fokus saja pada kuliah psikologi dan bekerja sebagai HRD setelah lulus.”

Gadis itu terdiam. Badannya bergetar dan matanya memanas. Banyak hal yang sangat ingin dikatakannya sampai-sampai dia ingin muntah, tapi sayangnya mulutnya kelu. Sebenarnya sedari dulu ayahnya kurang setuju dia menjadi penulis novel. Selain prospek kerjanya tidak pasti, menurut ayahnya menjadi penulis itu salah satu hal yang kurang berguna. Bahkan dulunya Litani sangat ingin berkuliah jurusan sastra Indonesia tetapi karena ayahnya tidak setuju sehingga dia memilih jurusan psikologi sebagai alternatif.

Usai ceramah panjang yang menguras hatinya tersebut, Litani mengunci diri di kamar. Dia menangis tersedu-sedu dan memendamnya dengan bantal. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru bagi Litani. Dia sudah pernah mengalami hal yang lebih parah sebelumnya. Tapi sampai detik ini, dia masih belum bisa berdamai dengan persoalan ini.

Siapa yang suka dikatai sebagai pemimpi? Selama ini dia berusaha menggapai cita-citanya sebagai novelis, tetapi hal itu sama sekali tidak dianggap oleh ayahnya. Belum lagi kritik ayahnya tentang betapa kikuknya dia sebagai manusia, itu cukup menyakiti hatinya. Siapa sih yang senang dicap sebagai manusia yang aneh? Kalau boleh memilih, dia juga ingin dapat menjadi manusia yang normal seperti pada umumnya. Yang kalau berbicara dengan orang-orang baru tidak perlu tergagap atau salah bicara. Tidak ada yang mengerti dirinya. Kenapa orang-orang hanya menganggapnya sebagai gadis yang aneh dan pendiam di sekitar orang lain? Tidak ada yang tahu kalau dia selalu kehabisan tenaga setelah menghadapi banyak orang.

Bahkan, ada korelasi kenapa Litani sangat menyukai aktivitas menulis cerita pada kesulitannya ini. Ketika menulis novel, dia dapat melupakan kejadian di sekitarnya. Terutama menulis novel bisa dilakukan sendirian, di tempat yang tenang dan damai. Dia tidak perlu berdialog dengan orang lain saat menulis. Intinya, menulis novel adalah pelariannya dari dunia nyata.

Tetapi, jangan salah. Bukan berarti Litani sama sekali tidak bisa berteman dengan orang lain. Dia memiliki beberapa sahabat, seperti Terra dan Sastra. Jika bersama sahabatnya, dia bisa menjadi sangat cerewet. Setidaknya dia masih memiliki sisi kemanusiaan.

Lihat selengkapnya