Aku selalu mengatakan ada satu laki-laki baik yang kukenal. Dia adalah Gabriel, bosku sendiri. Selama ini aku tidak pernah melihatnya bersama dengan wanita. Ada beberapa hal yang membuatku penasaran tentang Gabriel. Dia kan sudah tinggal di tempat ini selama lebih dari setahun dan tidak pernah terlihat bersama seorang wanita. Apa jangan-jangan waktu limit satu tahunnya habis? Atau dia memiliki seorang istri di kota lain?
Contohnya seperti sore ini, semua pegawai bersiap pulang karena hendak berkencan dengan kekasihnya. Gabriel hanya duduk di dekat jendela dan memandang ke luar dengan tatapan menerawang.
Aku menghampirinya dan tersenyum ramah. “Apa kamu tidak berencana pulang? Semua orang siap-siap pulang untuk berkencan. Malam ini kan malam Minggu…?” tanyaku ramah sekaligus penasaran.
Gabriel menoleh dan tersenyum enggan. “Ah, tidak. Aku masih memiliki banyak pekerjaan. Kamu hendak pulang? Hati-hati ya di jalan…”
Jika Gabriel langsung berbicara seperti itu, aku pun tidak dapat menggali lebih banyak tentangnya. Sepertinya pria ini sangat tertutup.
“Baiklah, kamu juga hati-hati ya pulang nanti.”
Pria tersebut membalas ucapanku dengan senyum lebar.
Di lain waktu, aku masih berusaha mencari informasi tentang dia. Saat itu bahkan aku bertanya lebih frontal karena pria ini sangat tidak peka dan tertutup tentang kehidupan personalnya.
“Apa kamu punya pacar?” tanyaku terus terang.
Gabriel mengangkat alisnya heran, tapi tetap menjawab pertanyaanku. “Tidak.”
“Ah, apa kamu sudah punya istri?” tanyaku lagi.
“Tidak.”
Tanpa sadar aku menunjukkan raut wajah syok. “Tapi kamu kan sudah tinggal lebih dari satu tahun dan…”
Kali ini pria itu tertawa geli. “Pasti ini soal mitos jodoh Darlingtown, ya? Ada atau tidak adanya jodohku, aku tidak peduli. Sudah, jangan memasang wajah prihatin seperti itu ya. Tidak memiliki jodoh tidak berarti aku mati, kok.”
Gabriel meninggalkanku yang masih termenung di depan penggorengan. Andai saja aku sudah kehilangan harga diri, aku pasti akan menggenggam jemarinya dan berbisik lembut padanya.
“Sama aku saja, Gabriel.”
Sayangnya pria itu tidak terlihat tertarik pada siapa pun. Tidak mungkin aku memaksanya untuk bersamaku, aku khawatir hubungan kami sebagai atasan dan bawahan akan canggung.
.
.
.
Perang dingin ini sungguh menyiksanya. Selama beberapa hari dia tidak berbicara sama sekali dengan ayahnya. Suasana di rumah juga panas karena dua penghuni tersebut berselisih. Ini salah satu perselisihan rumit bagi Litani, karena permintaan maaf bukanlah solusi yang tepat. Lagipula, apakah dia harus minta maaf karena canggung dengan orang lain? Atau karena kurang match dengan jurusan kuliahnya? Baiklah, sebenarnya berkuliah di jurusan psikologi adalah hal yang sangat disyukurinya. Dia belajar banyak tentang kehidupan dari perkuliahannya ini. Tapi apakah juga dia mesti meminta maaf karena berusaha mengejar mimpinya?
Entahlah, hubungan mereka ini terlalu rumit dan mungkin tidak ada akhirnya.
Hari-harinya mulai diwarnai dengan suasana suram dan itu mulai terbawa hingga tempat kuliahnya. Terra yang sangat akrab dengan cerita Litani tentang keluarganya pun tidak dapat melakukan apa pun untuk menghiburnya. Sahabatnya itu hanya dapat mengajaknya jalan-jalan, atau menyediakan kamarnya sebagai tempat Litani mengerjakan tugas atau novelnya, serta membelikannya camilan atau minuman manis. Meski sebenarnya keberadaan Terra saja sudah membuat hari Litani terasa lebih baik.
“Kamu tahu, ada satu perkataan Bu Linda sewaktu semester tiga yang membekas menurutku.” Terra menggumam ketika mereka sibuk mengerjakan makalah salah satu mata kuliah.
Litani yang sibuk menganalisis dan menuliskan pandangannya pada kekurangan pendidikan sekolah di Indonesia saat ini hanya menanggapi seadanya. “Yang mana?” tanyanya singkat.
“Intinya, kalau kita nggak menyukai sifat seseorang, anggap saja seperti membuang sampah. Jadi ya biarkan saja seperti itu, nggak usah dipikirkan apalagi dimasukkan ke hati, anggap saja seperti buang sampah. Biarkan yang nggak berguna berlalu begitu saja di tempat sampah.”
Kedua tangannya yang awalnya menari dengan indahnya di keyboard laptop, langsung berhenti. Litani diam dan menghirup napas perlahan. “Iya.”
“Beberapa bulan ke belakang aku mencoba menerapkan seperti pesan Bu Linda, dan itu sangat berguna. Aku merasa lebih damai sih, apalagi aku juga orangnya dari awal nggak pedulian sama omongan orang lain.” Mereka hening, hanya terdengar suara ketikan dan printer yang sibuk mencetak makalah yang sudah selesai sebagian.
“Bukan berarti aku mengguruimu dan memintamu untuk tidak peduli begitu saja sama ucapan papamu. Aku tahu omongan papamu itu pasti sangat menyakitkan dan kamu hidup dengan semua itu selama lebih dari 20 tahun.” Terra meralat ucapannya karena Litani masih tidak merespon ucapannya.
“Nggak apa, Terra. Jangan merasa nggak enak begitu. Sebenarnya, dengan kamu selalu bersamaku itu sudah sangat membantu. Aku juga sadar kok, bahwa aku nggak akan bisa mengubah papaku. Yang bisa kulakukan hanyalah menerimanya.” Kini gadis itu menghadap sepenuhnya pada Terra dan mengulas senyum.
Mereka kembali mengerjakan tugas sembari makan hingga malam. Saat ini Litani sudah lebih membaik, yang tersisa hanyalah rasa canggung ketika bertemu ayahnya itu. Seperti yang dikatakannya, dia harus berusaha menerima ayahnya itu. Tetapi dia juga tidak akan melepas tulisannya. Keputusan akhirnya adalah dia akan menutup telinga dan mematikan hatinya jika ayahnya kembali mencela hobinya. Setidaknya dengan menulis novel, dia tidak merugikan siapa pun.
***
Sudah beberapa hari semenjak dia konsultasi tentang novelnya bersama Konstanta. Hari ini jadwalnya kembali bertemu pria itu. Konstanta telah membaca semua revisi ceritanya dan terdapat beberapa coretan di lembaran tersebut.