Minggu selanjutnya, akhirnya aku menemukan sebuah rahasia semesta. Baiklah, sepertinya aku yang terlalu berlebihan. Tapi mendapati cerita atasanku, sungguh membuatku ternganga. Jadi, hal ini terjadi ketika semua pegawai sudah pulang sementara aku masih berbenah di dapur. Saat itulah aku melihat Gabriel memandangi cincin dalam kotak beludru merah dengan wajah sendu.
Wah, aku sudah menduga bahwa Gabriel pasti mencintai seseorang. Lagipula, mana ada pria baik dan tampan yang masih lajang? Ada, tapi jumlahnya sedikit.
“Aku sudah tinggal di sini lebih dari dua tahun. Selama itu pula aku sama sekali tidak berniat mencari perempuan seorang pun. Hingga detik ini, aku masih hidup, kan?” Suara dalam milik Gabriel mengejutkanku. Ternyata pria itu menyadari aku yang tengah berdiri di sekat pintu toko dan dapur.
Aku langsung bergabung dengan Gabriel dan menampilkan senyum kikuk seakan aku mengintipnya. Yah, memang aku mengamatinya tapi tidak sengaja.
“Hmm, sepertinya aku mengerti kenapa kamu masih lajang sampai sekarang.” Aku berkata pelan seraya menatap matanya langsung.
Pria itu balas menatapku dengan serius. “Menurutmu kenapa?” tanyanya.
Ini memang hanya tebakanku. Tapi aku adalah orang yang sangat jago menebak. “Kamu terlihat seperti sedang jatuh cinta sangat dalam pada seseorang. Tapi entah apa yang membuat kalian tidak bersama, sehingga kamu berakhir sendirian di sini. Kalau melihatmu sekarang, aku seolah bisa ikut merasakan patah hatimu.”
Gabriel tersenyum dan menyerahkan kotak cincin tersebut padaku. “Yah, meski begitu aku tidak menyesali keputusanku sama sekali. Rasa sedih ini akan hilang seiring berjalannya waktu atau ketika aku mati.”
“Jangan berkata begitu. Kalau orang itu membuatmu patah hati, seharusnya kamu mencari orang lain yang lebih baik. Setiap orang itu pantas menerima cinta yang terbaik.”
Pria di depanku ini mendengus dan tersenyum sinis. “Perasaan itu sudah mati bersamaan dengan hilangnya dia dari hidupku.”
“Kamu tidak boleh berpikir seperti itu. Mungkin saja kamu masih belum membuka hatimu…”
Gabriel langsung menyela ucapanku. “Satu-satunya orang yang membuatku seperti ini sedang koma sekarang. Apa kamu mengira aku bercerita tentang patah hati karena dia melakukan hal yang buruk?”
Aku terdiam, tidak menduga kisah atasanku ini berbeda dari yang kukira.
“Aku dan dia sudah bertunangan. Tapi di hari pernikahan kami, dia mengalami kecelakaan lalu lintas. Sampai hari ini, dia masih terbaring tidak sadarkan diri di rumah sakit.” Gabriel menghela napas. “Itulah sebabnya kenapa aku tidak mau mencari perempuan lain. Karena aku sudah menemukannya dan aku tidak butuh yang lain.”
“Patah hati bukanlah hal yang besar. Aku masih bernapas hari ini dan bisa mengerjakan semua hal yang kusukai. Paling tidak aku hanya merasakan sepi di malam hari saat aku sendirian. Meski ada sebagian diriku yang rasanya hilang, aku masih bisa bertahan. Pada dasarnya manusia itu selalu kesepian tetapi dia akan tetap bertahan kalau dia mau.”
“Cincin itu buatmu saja. Aku tidak tahu kapan dia akan sembuh. Daripada aku menahan benda itu dan membuatku selalu teringat padanya, lebih baik kuberikan padamu. Semoga kamu bisa menemukan cinta sejatimu.”
Gabriel tersenyum cerah dan mengedipkan sebelah matanya. Aku terkejut dengan suasana hatinya yang berubah dalam sekejap mata. Tadi dia bersikap seakan pria paling terpuruk di dunia dan baru saja dia bertingkah bak pria paling bersemangat dalam hidup. Aku tidak mengerti…
.
.
.
Sekarang Sastra terbiasa mendapati Litani yang tertidur ketika kelas sedang berlangsung. Gadis itu sangat suka memanfaatkan waktunya kapan saja untuk tidur. Saat makan siang dan jeda sebelum kelas pun dia juga biasa molor. Cowok itu tahu kalau Litani sangat sibuk dan mungkin mengerjakan tugas hingga larut malam. Tapi apakah setiap hari dia lembur hingga subuh sampai-sampai lingkaran di bawah matanya terlihat jelas?
“Lit, apa setiap malam kamu nggak tidur dengan benar?” tanya Sastra ketika mereka bertiga hendak makan siang di kantin. Hari ini Terra tidak memiliki kesibukan sehingga dapat bergabung.
Gadis yang ditanyai tersebut menatap Sastra dengan bingung. “Akhir-akhir ini aku tidur jam setengah dua pagi. Kenapa memang, Sas?” tanyanya.
“Kalau kamu selalu seperti itu hingga tua, nanti umurmu pendek.” Sastra membalas seraya meletakkan tasnya di bangku kantin yang kosong. Litani dan Terra mengikutinya.
“Berumur panjang di dunia ini juga nggak ada gunanya.” Litani merespon dengan wajah datar.
Sastra dan Terra menyela bersamaan. “Hus! Kok ngomong begitu sih?”
Litani hanya tergelak melihat respon kedua sahabatnya.