Cincin dari Gabriel kusimpan dan aku menatap cincin yang berukirkan tulisan G >< S. Aku tidak mengerti maksud dari ukiran di cincin itu, tapi aku menerka kalau ini ada hubungannya dengan nama Gabriel dan kekasihnya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah ada kasus seperti ini di Darlingtown? Aku tidak begitu mengenal banyak orang di sini, jadi aku tidak tahu apa benar orang yang telah tinggal di sini lebih dari satu tahun sudah pasti tidak menemukan jodohnya.
Tapi sungguh, ini adalah masa yang tenang dalam hidupku. Aku sedang giat-giatnya bekerja mencari uang dan tiba-tiba saja tidak begitu memedulikan soal jodoh lagi. Bukan berarti aku sudah menyerah mencarinya, tetapi aku lebih santai dalam menghadapinya. Padahal, saat ini aku sudah memasuki bulan kesepuluh tinggal di Darlingtown. Ah, padahal Erik juga masih lajang. Bahkan dia tidak peduli sama sekali soal jodoh. Kalau sampai tua kami sama-sama masih belum punya pasangan, aku akan memintanya untuk menemaniku. Dia pasti sama kesepiannya sepertiku.
Berbicara tentang Erik, membuatku kembali kesal. Beberapa minggu ini dia sungguh tidak dapat dihubungi. Semua chat dan teleponku tidak dihiraukannya. Apa dia sangat sibuk sampai-sampai tidak bisa membalasku sebentar saja? Padahal aku tidak punya teman mengobrol selain dia. Meski aku memiliki teman satu apartemen, tapi tetap saja tidak ada yang bisa menggantikan Erik.
“Kasihan sekali ya bos kita, padahal dia tampan dan juga mapan. Sayangnya tunangannya sedang koma sekarang. Tapi kalau aku jadi dia, mungkin saja aku juga memutuskan melajang seumur hidupku kalau tidak menikah dengan orang yang kucintai.”
Obrolan Sarah dan Rebecca mengembalikan kesadaranku saat ini. Mereka sedang menguleni tepung dan memasukkan adonan yang sudah jadi ke dalam oven. Dari mana mereka mendengar cerita itu? Padahal sebelumnya setiap aku bertanya, tidak ada yang tahu. Gabriel sendiri tidak mungkin menceritakan kisah sedihnya pada para pegawai. Sementara aku, untuk apa aku menceritakan hal tersebut pada mereka? Tidak ada gunanya membicarakan orang lain seperti itu.
“Olivia, apa kamu tidak kasihan mendengar cerita tentang bos kita?” tanya Rebecca padaku.
Aku menoleh dan tersenyum menanggapinya. “Bukannya tidak kasihan, tapi menurutku Gabriel adalah orang yang kuat dan bersemangat dalam menjalani hidupnya.”
“Iya sih, dia orang yang rajin dan tidak terlihat sama sekali kalau sedang kesusahan.” Kali ini Sarah yang berkata.
“Memangnya dari mana kalian mendengar cerita itu? Apakah benar?” tanyaku penasaran.
“Geraldo yang menceritakannya, dia kan salah satu pegawai yang dekat dengan Gabriel. Sebenarnya Geraldo sudah tahu cerita tentang Gabriel, tapi selama ini dia tidak pernah membaginya pada kita. Mungkin dia tidak mau kita bergosip tentang bos.”
Ah, benar juga. Wajar saja Geraldo tidak ingin kami para pegawai perempuan tahu. Stigma tentang perempuan yang sangat suka bergosip selalu membuat para laki-laki waspada. Tapi dia tidak bisa disalahkan juga, buktinya saat ini kami sedang membicarakan Gabriel.
Namun sejujurnya, aku juga iba pada pria itu. Kuharap masa depannya berakhir dengan indah. Pria yang baik dan dewasa tentu akan mendapatkan seorang wanita yang baik juga. Setidaknya jika tidak bersama dengan perempuan yang dicintainya, dia bisa bersanding dengan orang yang pantas.
Tidak peduli seberapa banyak waktu yang telah dihabiskannya di Darlingtown…
.
.
.
Beberapa minggu telah terlewati semenjak konflik Litani dengan ayahnya terjadi. Lambat laun hubungan mereka membaik, mereka kembali berkomunikasi. Meski Litani sendiri tidak seluwes biasanya jika mengobrol, setidaknya suasana rumah sudah lebih dingin dari sebelumnya. Meski demikian, Litani masih tetap menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah. Suasana tenang dibutuhkannya untuk mengerjakan tugas kuliah dan novel di café atau kampus.